Selasa, 27 Agustus 2013

Bercita-cita Tinggi dalam Menuntut Ilmu



Di antara akhlak Islam adalah berhias diri dengan cita-cita tinggi, yang menjadi titik sentral alam dirimu, baik untuk maju ataupun mundur, juga yang mengawasi gerak-gerik badanmu. Cita-cita yang tinggi bisa mendatangkan kebaikan yang tiada terputus dengan izin Allah, agar engkau bisa mencapai derajat yang sempurna, sehingga cita-cita itu akan mengalirkan darah kesatriaan dalam urat nadimu dan mengayunkan langkah untuk menjalani dunia ilmu dan amal. Orang lain tidak akan pernah melihatmu kecuali berada di tempat yang mulia, engkau tidak akan membentangkan tangan kecuali untuk menyelesaikan perkara-perkara yang penting.
Ini adalah perkara yang penting bagi para pelajar dalam menuntut ilmu, yaitu hendaklah dia mempunyai tujuan dalam belajarnya, bukan sekadar menghabiskan waktu di bangku sekolah, tetapi hendaklah seorang pelajar itu mempunyai cita-cita. Dan di antara cita-cita yang paling mulia adalah agar dengan ilmunya ia menjadi imam yang memimpin umat Islam di bidang ilmu pengetahuan, dan dia harus merasa bahwa dia bisa mencapainya sedikit demi sedikit sampai bisa mencapai cita-citanya. Kalau seorang pelajar melakukannya, dia akan menjadi perantara antara Allah dengan hamba-Nya dalam menyampaikan syariat Islam ini, yang akan membawanya untuk mengikuti Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan berpaling dari semua pendapat akal manusia, kecuali kalau bisa membantunya dalam mencapai kebenaran, seperti yang diucapkan oleh para ulama, yang itu merupakan sebuah ilmu yang bisa menjadi pintu bagi kita untuk mengetahui kebenaran. Karena, kalau tanpa ucapan-ucapan mereka, kita tidak akan mampu mengambil hukum langsung dari nash-nash yang ada, atau untuk mengetahui mana yang rajih (pendapat yang kuat) dan mana yang marjuh (pendapat yang lemah) atau yang semisalnya.
Cita-cita yang tinggi akan menghindarkanmu dari angan-angan dan perbuatan yang rendah dan akan memangkas habis batang kehinaan darimu seperti sikap suka menjilat dan basa-basi. Orang yang mempunyai cita-cita yang tinggi akan tegar, dia tidak akan gentar menghadapi masa-masa sulit. Sebaliknya, orang yang bercita-cita rendah akan menjadi penakut, pengecut, dan terbungkam mulutnya hanya oleh sedikit kelelahan.
Namun, jangan salah persepsi, jangan campuradukkan antara cita-cita yang tinggi dengan kesombongan. Karena, antara keduanya terdapat perbedaan yang sangat tajam, seperti perbedaan antara langit dan bumi. Cita-cita yang tinggi adalah perhiasan para ulama pewaris nabi, sedangkan kesombongan adalah penyakit orang-orang yang sakit dari kalangan para diktator yang sebenarnya miskin hati.
Wahai para pelajar, canangkanlah pada dirimu cita-cita yang tinggi, jangan berpaling darinya. Syariat kita telah memberi isyarat akan hal itu pada banyak masalah fiqih yang engkau jalani setiap hari, agar engkau selalu siap mendapatkannya. Misalnya, dibolehkannya tayamum bagi mukallaf tatkala tidak ada air, dan dia tidak diharuskan menerima hadiah sehingga air wudhu dari orang lain karena itu akan membuat orang lain merasa berjasa padamu. Yang itu akan merendahkan martabatmu. Dan perhatikanlah contoh-contoh lain yang seperti ini. Wallaahu a'lam.
Termasuk cita-cita yang tinggi adalah jangan sampai engkau mengharap milik orang lain. Karena, jika engkau menginginkan kepunyaan orang lain, lalu mereka memberikannya kepadamu, maka mereka akan memilikimu, karena perbuatan itu sebenarnya akan mengikatmu. Seandainya ada seseorang yang memberimu satu keping uang, maka tangannya akan lebih tinggi daripada tanganmu, sebagaimana digambarkan dalam sebuah hadits: "Tangan yang di aas lebih baik daripada tangan yang di bawah." (HR Bukhari dan Muslim).
Tangan yang di atas adalah yang memberi, sedangkan tangan yang di bawah adalah yang diberi. Jangan arahkan pandanganmu, juga jangan ulurkan tanganmu untuk meminta kepunyaan orang lain. Sampai-sampai kalau ada orang yang tidak memiliki air (untuk wudhu) lalu ada yang memberinya, maka dia tidak harus menerimanya, tetapi dia boleh bertayamum. Hal ini untuk menghindari jangan sampai dia berhutang budi kepada orang lain. Padahal, wudhu dengan air itu hanya wajib bagi yang mampu mendapatkan air saja. Oleh karena itu, para ulama membedakan antara orang yang mendapatkan orang yang menjual air dengan yang memberinya air, mereka mengatakan, "Kalau ada yang menjual air kepadamu, maka kamu wajib membelinya, karena kalau kamu membelinya, maka itu tidak berakibat engkau berhutang budi kepadanya, karena engkau telah memberi harganya, namun jika ada yang memberimu, maka engkau tidak wajib menerimanya, karena engkau akan berutang budi kepadanya, yang akan mengikat dirimu. Akan tetapi, jika yang memberimu air itu tidak meminta balas budi, bahkan mungkin dia berterima kasih kepadamu karena engkau mau menerima pemberiannya, atau karena yang memberimu adalah orang tertentu yang biasanya tidak harus membalas budi dalam pemberiannya, seperti saudara kepada saudaranya, maka hukum itu tidak berlaku karena sebabnya sudah hilang. Yang penting di sini bahwa termasuk cita-cita yang tinggi adalah jangan sampai engkau menginginkan kepunyaan orang lain.
Antusias dalam Menuntut Ilmu
Jika engkau tahu sebuah kalimat yang iucapkan oleh Khalifah Ali bin Abu Thalib: "Nilai setiap orang tergantung pada apa yang dia kuasai." (Lihat Faidhul Qadiir [IV/110]). Ada yang mengatakan: "Tidaklah ada satu kalimat pun yang lebih bisa memberikan semangat bagi penuntut ilmu daripada kalimat ini." Maka, waspadalah terhadap kesalahan orang yang berkata: "Generasi awal tidaklah meninggalkan apa pun untuk yang sesudahnya," akan tetapi lafazh yang benar adalah: "Berapa banyak yang ditinggalkan oleh generasi pertama untuk generasi berikutnya." Maka, kewajibanmu adalah memperbanyak belajar Sunnah Nabawiyah, dan curahkan kemampuanmu dalam menuntut, menimba, serta meneliti ilmu. Karena, setinggi apa pun ilmumu, engkau harus tetap ingat bahwa: "Berapa banyak yang masih ditinggalkan oleh generasi pertama untuk generasi selanjutnya."
Seseorang yang menguasai ilmu fiqih dan ilmu syariat niscaya akan mempunyai nilai lebih daripada orang yang mahir dalam memperbaiki kabel yang rusak atau lainnya. Hal ini karena keduanya sama-sama menguasai sebuah bidang tertentu, hanya saja ada bedanya antara yang pandai dalam ilmu agama dengan yang pandai dalam ilmu dunia. Dari sini kita ketahui bahwa nilai setiap orang adalah tergantung dari apa yang dia kuasai. Telah disebutkan di atas bahwa "tidak ada ucapan yang lebih bisa memberi semangat bagi penuntut ilmu daripada ucapan ini." Perkataan yang diambil oleh Syaikh tersebut tidaklah benar, karena kalimat yang paling bisa memberikan semangat belajar para penuntut ilmu adalah firman Allah (yang artinya), ".... Katakanlah: 'Adaklah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui ...." (Az-Zumar: 9). Juga, firman-Nya, "... niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat ...." (Al-Mujaadilah: 11). Dan, sabda Nabi saw., "Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah mendapatkan kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia dalam urusan agama." (HR Bukhari dan Muslim). Dan, sabda beliau pula, "Ulama adalah pewaris para nabi." (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad, dan Ad-Darimi). Dan, nash lainnya yang menganjurkan untuk menuntut ilmu. Tidak disangsikan lagi bahwa yang dikatakan oleh Ali bin Abu Thalib adalah sebuah kalimat yang mengandung makna yang luas, hanya saja itu bukan perkataan yang terbaik dalam hal anjuran menuntut ilmu.
Ucapan Syaikh: "Perbanyaklah ...," maksudnya adalah sebuah anjuran agar engkau memperbanyak mendapatkan warisan Rasulullah saw. yang berupa ilmu. Karena, para nabi tidaklah mewariskan dinar dan dirham, tetapi mereka mewariskan ilmu. Barang siapa yang mengambilnya, sungguh dia telah mengambil bagian yang sangat banyak dari warisan tersebut.
Kemudian, ketahuilah bahwasannya warisan Rasulullah ada yang berupa Al-Qur'an dan ada yang berupa As-Sunnah. Apabila warisan itu berupa Al-Qur'an, engkau tidak perlu lagi melihat sanadnya, karena Al-Qur'an sampai kepada kita dengan jalan yang mutawatir. Adapun jika berupa As-Sunnah, maka yang harus engkau lihat pertama kali adalah apakah Sunnah itu shahih dari Rasulullah atau tidak.
Perkataan Syaikh selanjutnya: "Curahkan kemampuanmu," maksudnya adalah kemampuan dalam meneliti. Karena, ada sebagian orang yang hanya mengambil zhahir dan umumnya nash tanpa meneliti lagi apakah zhahirnya nash itu yang dimaksud oleh hadits ini ataukah tidak, apakah keumuman nash itu dikhususkan atau tidak. Orang yang tidak menelitinya akan mempertentangkan antara satu hadits dengan yang lainnya, karena dia tidak mempunyai ilmu tentang masalah ini. Ini banyak terjadi di kalangan pelajar yang masih muda, yang banyak perhatian terhadap Sunnah Rasulullah saw. Biasanya salah seorang di antara mereka dengan cepatnya mengambil hukum dari hadits tersebut, atau dengan cepatnya dia menghukumi pada sebuah hadits. Ini adalah sebuah bahaya yang sangat besar.
Perkataan Syaikh: "Setinggi apa pun ilmumu tetaplah ingat bahwa masih sangat banyak yang ditinggalkan oleh generasi pertama untuk generasi berikutnya." Ini sebuah perkataan yang bagus, namun ada yang lebih bagus dari itu, yaitu kita katakan, "Setinggi apa pun ilmumu, tetaplah ingat firman Allah: 'Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Mahamengetahui.' (Yusuf: 76). 'Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit'."
Dalam biografi Ahmad Ibnu Abdul Jalil yang tertulis dalam Tarikh Baghdad oleh Al-Khatib al-Baghdadi, beliau menyebutkan seuntai syair:
"Tidaklah orang mulia itu seperti orang hina
dan tidak pula orang yang cerdik itu semacam orang yang bodoh.
Nilai seseorang itu setiap kali dia bisa menguasai sesuatu dengan baik.
Inilah yang diputuskan oleh Imam Ali bin Abu Thalib."
Meninggalkan Kampung Halaman untuk Menuntut Ilmu
Barang siapa yang tidak pernah pergi untuk menuntut ilmu, maka dia tidak akan didatangi untuk ditimba ilmunya. Barang siapa yang tidak pernah pergi dalam masa belajarnya untuk mencari guru serta menimba ilmu dari mereka, maka dia tidak akan didatangi untuk belajar darinya. Karena, para ulama dahulu yang telah melewati masa belajar dan mengajar mempunyai banyak tulisan, karangan-karangan ilmiah, dan pengalaman-pengalaman yang sulit ditemukan di dalam kitab.
Maksud perkataan Syaikh di atas: bahwa orang yang tidak pernah bepergian untuk menuntut ilmu, maka tidak perlu didatangi (untuk ditimba ilmunya).
Dan jauhilah cara belajarnya orang-orang shufi, yang hanya duduk di tempat. Mereka lebih mengutamakan ilmu khark (ilmu yang diambil langsung dengan cara menembus hijab antara dia dengan Allah, ini dalam persangkaan mereka, yang biasa dinamakan dengan ilmu laduni, pent.) daripada ilmu yang diambil dari lembaran-lembaran kitab. Pernah dikatakan kepada sebagian orang di antara mereka: "Mengapa engkau tidak berangkat untuk mendengarkan hadits dari 'Abdurrazzaq? Maka dia menjawab: "Apa gunanya mendengarkan hadits dari 'Abdurrazzaq bagi orang yang bisa mendengar secara langsung dari Allah Ta'ala." Ada lagi yang mengatakan:
Jika orang-orang itu berbicara kepadaku dengan ilmu yang diambil dari lembaran kitab.
Maka saya menandingi mereka dengan ilmu yang diambil langsung dari Allah Ta'ala."
Oleh karena itu, jauhilah mereka. Karena, mereka tidak pernah menolong Islam dan tidak pernah melawan orang-orang kafir. Bahkan, di antara mereka ada yang menjadi bencana dan bumerang bagi agama Islam.
Orang-orang shufi mengaku bahwasannya Allah langsung berbicara dengan mereka dan memberikan wahyu kepada mereka, serta mengaku bahwasannya Allah SWT mengunjungi mereka demikian juga sebaliknya. Ini adalah salah satu kepercayaan khurafat mereka.
Ungkapan Syaikh yang terakhir diambil dari ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang ahli kalam, beliau berkata: "Orang-orang ahli kalam itu tidak pernah menolong Islam, juga tidak pernah menghancurkan ahli falsafah." Maksudnya, ahli kalam itu tidak pernah membela agama Islam yang dibawa oleh Muhammad saw., mereka pun tidak pernah melawan ahli falsafah yang menjelek-jelekkan agama Islam. Bukti akan hal ini bahwasannya ahli kalam itu mengubah beberapa nash dari zhahirnya, mereka menakwilkannya kepada makna lain atau membuat makna yang baru. Mereka mengaku bahwasannya hal itu didasari pada akal yang sehat. Ahli falsafah pun mengatakan kepada mereka: "Kalian menakwilkan ayat dan hadits tentang sifat Allah Ta'ala, padahal keduanya sangat jelas, kalau begitu biarkanlah kami menakwilkan ayat-ayat tentang hari kebangkitan, karena ayat-ayat yang berhubungan dengan asma dan sifat Allah jauh lebih banyak daripada yang menjelaskan tentang hari kebangkitan. Maka, jika kalian boleh menakwilkan nama dan sifat Allah yang terdapat dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, maka biarkanlah kami menakwilkan ayat-ayat tentang hari kebangkitan, bahkan biarkan juga kami mengingkari hari kebangkitan secara total." Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah sebuah hujjah yang sangat kuat bagi ahli falsafah (ahli filsafat, red.) terhadap ahli kalam, karena memang tidak ada perbedaan di antara keduanya.
Syaikh telah menyerang orang-orang shufi, dan mereka memang pantas untuk diperlakukan seperti itu. Karena, sebagian orang shufi ada yang sampai batas kekufuran dan pengingkaran terhadap Allah. Sampai ada di antara mereka yang meyakini bahwasannya dirinya adalah Allah. Salah seorang di antara mereka mengatakan: "Tidaklah yang berada di dalam pakaian ini kecuali Allah," maksudnya adalah dirinya sendiri. Ada lagi yang berkata:
"Tuhan itu adalah hamba dan hamba itu adalah tuhan.
Duhai sekiranya aku tahu siapakah yang harus diberi beban kewajiban."
Maksudnya, tidak ada perbedaan antara keduanya. Dan, masih banyak lagi khurafat yang mereka ucapkan, namun kita juga seharusnya mengonsentrasikan serangan kepada ahli kalam yang merampas kesempurnaan Allah dengan ucapan-ucapan serta mengingkari sifat-Nya atas dasar akal mereka.
Para ulama yang berbicara tentang masalah pergi belajar belum menjumpai perkembangan teknologi yang ada saat ini. Saat ini kaset rekaman bisa dijadikan sebagai ganti dari pergi menuntut ilmu, meskipun pergi menuntut ilmu tetap lebih besar faidahnya. Karena, kalau engkau pergi kepada seorang alim, maka dia akan memperoleh ilmu, adab, dan akhlaknya. Juga, kalau engkau langsung melihatnya saat berbicara, engkau akan dapat lebih mudah terpengaruh dengannya.
Menjaga Ilmu dengan Mencatatnya
Curahkan kemampuanmu untuk menjaga ilmu dengan mencatatnya, karena dengan mencatat akan aman dari hilangnya ilmu itu, juga bisa mempersingkat waktu kalau ingin membahasnya saat dibutuhkan, terutama beberapa masalah ilmiah yang terdapat bukan pada tempat yang selayaknya. Dan di antara faidahnya yang paling besar adalah saat sudah berusia lanjut dan kekuatan badan sudah melemah, maka engkau masih mempunyai ilmu yang masih bisa ditulis tanpa harus membahas dan menelaahnya kembali.
Betapa banyak masalah-masalah penting tetapi tidak tercatat dengan alasan bahwa insya Allah saya tidak akan lupa. Tetapi, ternyata akhirnya dia pun lupa. Maka, dia berangan-angan seandainya dulu mencatatnya.
Oleh karena itu, catatlah ilmu, terutama faidah-faidah penting yang terdapat bukan pada tempat yang sewajarnya, juga mutiara-mutiara ilmu yang mungkin engkau lihat dan dengar yang engkau khawatir akan hilang serta hal lainnya, karena hafalan itu bisa melemah dan orang bisa saja lupa.
Berkata Imam Asy-Sya'bi, "Apabila engkau mendengar sesuatu, maka catatlah meskipun di dining." (Diriwayatkan oleh Khaitsamah). Apabila sudah terkumpul pada dirimu catatan tersebut, maka urutkanlah dalam kitab atau buku saku sesuai dengan judulnya, karena itu akan sangat membantumu pada saat-saat mendesak, yang para ulama besar pun terkadang sulit untuk mendapatkannya.
Menjaga Ilmu dengan Mengamalkannya
Jagalah ilmumu dengan cara mengamalkan dan mengikuti Sunnah Rasulullah saw. Al-Khatib al-Baghdadi berkata, "Seseorang yang mempelajari hadits wajib untuk mengikhlaskan niatnya dalam belajar dan bertujuan mencari wajah (ridha) Allah, dan janganlah ia jadikan ilmu itu sebagai sarana untuk mencapai kedudukan yang tinggi, jangan pula digunakan untuk mencari jabatan, karena telah daang ancaman bagi orang yang menjual ilmunya untuk mendapatkan keuntungan duniawi.
Telah datang ancaman bagi orang yang menuntut ilmu namun tidak ikhlas karena Allah, yaitu dia tidak akan mendapatkan bau surga, sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Khatib al-Baghdadi, bahwa seharusnya seorang penuntut ilmu itu mengikhlaskan niatnya, yaitu berniat melaksanakan perintah Allah dan mencari pahala dalam belajarnya, menjaga dan membela syariat Allah, dan bertujuan menghilangkan kebodohan dari dirinya sendiri, juga orang lain. Semua itu menunjukkan adanya keikhlasan, bukan bertujuan mendapatkan kehormatan, kemuliaan, martabat, dan jabatan.
Jika ada yang bertanya, "Setiap orang yang belajar di perguruan tinggi pasti bertujuan mendapatkan ijazah, yang karena itulah banyak kita lihat sebagian mereka menempuh cara-cara kotor demi memperoleh ijazah tersebut, misalnya ijazah palsu dan semisalnya." Kita jawab, "Bukankah mungkin saja orang itu belajar di perguruan tinggi dengan niat yang ikhlas, dia bertujuan untuk memberikan manfaat bagi sesama, karena pada zaman ini orang yang tidak mempunyai ijazah tidak akan bisa menjadi guru atau yang sejenisnya dari lembaga-lembaga yang membutuhkan ijazah.
Dan, jika ada yang mengatakan, "Saya ingin mendapatkan ijazah agar bisa mengajar di perguruan tinggi, karena tanpa ijazah saya tidak mungkin bisa mengajar di perguruan tinggi." Atau, kalau ada yang berkata, "Saya ingin memperoleh ijazah agar saya bisa menjadi seorang dai, karena pada zaman ini seseorang tidak mungkin bisa menjadi dai kecuali kalau memiliki ijazah." Kalau memang niatnya semacam ini, maka insya Allah itu adalah niat yang baik, yang tidak akan merusak belajar ilmu syar'i. Adapun kalau urusan ilmu duniawi, maka terserah engkau berniat apa saja selama masih dihalalkan oleh Allah. Seandainya ada orang yang belajar ilmu teknik dan berkata, "Saya ingin menjadi insinyur agar nanti gajiku sebesar sepuluh ribu real." Apakah ini haram? Tidak! Karena, itu ilmu duniawi, semacam pedagang yang berniat agar mendapatkan untuk yang banyak.
Hindarilah sikap berbangga dan menyombongkan diri, juga jangan sampai tujuanmu dalam belajar hadits adalah untuk mencari jabatan, memperbanyak pengikut, serta mendirikan majelis ilmu. Karena, kebanyakan penyakit yang merasuki para ulama adalah dari sisi ini.
Jadikanlah hafalanmu terhadap hadits Rasulullah sebagai hafalan ri'ayah (menjaga ajaran agama), bukan sekadar menghafal untuk meriwayatkannya, karena perawi ilmu itu banyak, namun yang mampu menjaga dan mengamalkannya itu hanya sedikit. Dan betapa banyak orang yang datang untuk belajar tetapi seperti orang yang tidak datang, juga betapa banyak orang yang berilmu seerti orang bodoh dan orang yang menghafal hadits namun sama sekali tidak memahaminya, apabila di dalam menyampaikan ilmunya, menyampaikan hukumnya seperti orang yang kehilangan ilmu dan pengetahuannya.
Maksud menjaga ri'ayah adalah memahami makna hadits, mengamalkan, lalu menjelaskannya kepada orang lain. Sebenarnya tujuan dari belajar Al-Qur'an dan As-Sunnah itu untuk memahami maknanya, sehingga bisa mengamalkan serta mendakwahkannya, namun Allah SWT menjadikan manusia itu bermacam-macam. Ada di antara mereka yang hanya bisa meriwayatkan namun tidak tahu maknanya, kecuali makna yang sangat jelas yang tidak butuh dijelaskan lagi, namun hafalannya sangat kuat. Ada lagi orang yang diberi karunia mudah memahami tetapi lemah dalam hafalan. Namun, ada sebagian manusia yang memiliki keduanya, yaitu kekuatan hafalan dan kefahaman, namun ini sangat jarang.
Rasulullah telah menggambarkan tentang orang-orang yang diberi oleh Allah SWT ilmu sebagai air hujan yang menyirami bumi, maka bumi yang terkena air hujan itu ada tiga macam. (HR Bukhari dan Muslim)
Pertama, tanah tandus yang menelan air namun tidak bisa menumbuhkan rerumputan. Ini permisalan bagi orang yang sama sekali tidak memperhatikan ilmu. Dia tidak mengambil manfaat, baik untuk dirinya maupun orang lain.
Kedua, tanah yang bisa menyerap air namun tidak bisa menumbuhkan tanaman. Ini permisalan bagi orang yang memperhatikan ilmu, seperti para perawi hadits, mereka mampu menahan air sehingga orang lain bisa minum dan mengairi sawah untuk menanam, namun mereka sendiri tidak bisa melakukan apa-apa kecuali sekadar menghafalkannya.
Ketiga, tanah subur yang mampu menyerap air dan menumbuhkan tanaman. Ini permislaan bagi orang yang diberi oleh Allah ilmu dan kefahaman. Mereka bisa memberi manfaat bagi diri dan orang lain.
Maka, seharusnya seseorang yang belajar ilmu agama bersikap berbeda dengan kebiasaan orang-orang awam, dengan cara mengikuti sunnah Rasulullah sebisanya serta mempraktikkan sunnah pada dirinya, sebagaimana firman Allah, "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suriteladan yang baik bagimu ...." (Al-Ahzaab: 21).
Firman-Nya yang lain, "Ikutilah aku, iscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." (Ali Imran: 31).
Menjaga Hafalan
Jagalah ilmumu dari waktu ke waktu, karena kalau tidak dijaga maka akan hilang meski bagaimanapun hebatnya ilmu itu.
Dari Abdullah bin Umar bahwasannya Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya permisalan orang yang menghafal Al-Qur'an semacm pemilik unta yang ditambatkan, kalau dia menjaganya (mengikatnya), maka dia tidak akan pergi, namun jika dilepas, maka dia akan pergi." (HR Bukhari, Muslim, dan Malik dalam Al-Muwaththa').
Berkata Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr r.a., "Hadits ini menunjukkan bahwa siapa pun yang tidak menjaga ilmunya, niscaya ilmu itu akan hilang, karena ilmu mereka pada saat itu hanyalah Al-Qur'an. Kalau Al-Qur'an saja yang dimudahkan oleh Allah dalam menghafalnya bisa hilang kalau tidak dijaga, maka bagaimana dengan ilmu lainnya? Dan sebaik-baik ilmu adalah manakala pokoknya dikuasai betul, sementara cabang-cabangnya dipelajari dan bisa mengantarkannya untuk taat kepada Allah serta bisa menunjukkan kepada perbuatan yang diridhai-Nya."
Sebagian ulama berkata, "Setiap kemuliaan yang tidak didukung dengan ilmu, maka akan berakhir pada kehinaan." (Ini adalah ucapan Al-Akhnas bin Qais).

1 komentar: