Cabang pengkajian yang dikenal
sebagai sejarah matematika adalah penyelidikan terhadap asal mula
penemuan di dalam matematika dan sedikit perluasannya,
penyelidikan terhadap metode dan notasi matematika pada masa silam.[1]
Sebelum zaman modern dan penyebaran ilmu pengetahuan
ke seluruh dunia, contoh-contoh tertulis dari pengembangan matematika telah
mengalami kemilau hanya di beberapa tempat. Tulisan matematika terkuno yang
telah ditemukan adalah Plimpton 322 (matematika Babilonia sekitar 1900 SM),[1] Lembaran Matematika Rhind (Matematika Mesir sekitar 2000-1800
SM)[2] dan Lembaran Matematika Moskwa (matematika Mesir sekitar 1890 SM). Semua tulisan itu membahas teorema
yang umum dikenal sebagai teorema
Pythagoras, yang
tampaknya menjadi pengembangan matematika tertua dan paling tersebar luas
setelah aritmetika dasar dan geometri.
Sumbangan matematikawan Yunani memurnikan metode-metode (khususnya melalui
pengenalan penalaran deduktif dan kekakuan
matematika di dalam pembuktian
matematika) dan
perluasan pokok bahasan matematika.[3] Kata "matematika" itu
sendiri diturunkan dari kata Yunani kuno, μάθημα (mathema), yang
berarti "mata pelajaran".[4] Matematika Cina membuat sumbangan dini, termasuk notasi posisional. Sistem bilangan Hindu-Arab dan aturan penggunaan operasinya,
digunakan hingga kini, mungkin dikembangakan melalui kuliah pada milenium
pertama Masehi di dalam matematika India dan telah diteruskan ke Barat melalui matematika
Islam.[5][6] Matematika Islam, pada gilirannya, mengembangkan dan memperluas
pengetahuan matematika ke peradaban ini.[7] Banyak naskah berbahasa Yunani dan
Arab tentang matematika kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, yang mengarah pada pengembangan
matematika lebih jauh lagi di Zaman Pertengahan Eropa.
Dari zaman kuno melalui Zaman Pertengahan, ledakan
kreativitas matematika seringkali diikuti oleh abad-abad kemandekan. Bermula
pada abad
Renaisans Italia pada abad ke-16, pengembangan matematika baru,
berinteraksi dengan penemuan ilmiah baru, dibuat pada pertumbuhan eksponensial yang berlanjut hingga kini.
Matematika prasejarah
Asal mula pemikiran matematika terletak di dalam
konsep bilangan, besaran, dan bangun.[8] Pengkajian modern terhadap fosil
binatang menunjukkan bahwa konsep ini tidak berlaku unik bagi manusia. Konsep
ini mungkin juga menjadi bagian sehari-hari di dalam kawanan pemburu. Bahwa
konsep bilangan berkembang tahap demi tahap seiring waktu adalah bukti di
beberapa bahasa zaman kini mengawetkan perbedaan antara "satu",
"dua", dan "banyak", tetapi bilangan yang lebih dari dua
tidaklah demikian.[8]
Benda matematika tertua yang sudah diketahui adalah tulang Lebombo, ditemukan di pegunungan Lebombo di Swaziland dan mungkin berasal dari tahun
35000 SM.[9] Tulang ini berisi 29 torehan yang
berbeda yang sengaja digoreskan pada tulang fibula baboon.[10] Terdapat bukti bahwa kaum perempuan
biasa menghitung untuk mengingat siklus haid mereka; 28 sampai 30 goresan pada tulang atau batu, diikuti dengan tanda yang berbeda.[11] Juga artefak prasejarah ditemukan di Afrika dan Perancis, dari tahun 35.000 SM dan berumur
20.000 tahun,[12] menunjukkan upaya dini untuk
menghitung waktu.[13]
Tulang Ishango, ditemukan di dekat batang air Sungai Nil (timur laut Kongo), berisi
sederetan tanda lidi yang digoreskan di tiga lajur memanjang pada tulang itu.
Tafsiran umum adalah bahwa tulang Ishango menunjukkan peragaan terkuno yang
sudah diketahui tentang barisan bilangan prima[10] atau kalender lunar enam bulan.[14] Periode Predinastik Mesir dari milenium ke-5 SM, secara grafis menampilkan
rancangan-rancangan geometris. Telah diakui bahwa bangunan megalit di Inggris dan Skotlandia, dari milenium ke-3 SM,
menggabungkan gagasan-gagasan geometri seperti lingkaran, elips, dan tripel Pythagoras di dalam rancangan mereka.[15]
Matematika Jaman Mesopotamia
Matematika Babilonia merujuk pada seluruh matematika
yang dikembangkan oleh bangsa Mesopotamia (kini Iraq) sejak permulaan Sumeria hingga permulaan peradaban
helenistik.[16] Dinamai "Matematika
Babilonia" karena peran utama kawasan Babilonia sebagai tempat untuk
belajar. Pada zaman peradaban helenistik Matematika Babilonia berpadu dengan
Matematika Yunani dan Mesir untuk membangkitkan Matematika Yunani. Kemudian di bawah Kekhalifahan Islam, Mesopotamia, terkhusus Baghdad, sekali lagi menjadi pusat penting
pengkajian Matematika Islam.
Bertentangan dengan langkanya sumber pada Matematika Mesir, pengetahuan Matematika Babilonia diturunkan dari
lebih daripada 400 lempengan tanah liat yang digali sejak 1850-an.[17] Ditulis di dalam tulisan paku, lempengan ditulisi ketika tanah liat masih basah,
dan dibakar di dalam tungku atau dijemur di bawah terik matahari. Beberapa di
antaranya adalah karya rumahan.
Bukti terdini matematika tertulis adalah karya bangsa Sumeria, yang membangun peradaban kuno di
Mesopotamia. Mereka mengembangkan sistem rumit metrologi sejak tahun 3000 SM. Dari kira-kira
2500 SM ke muka, bangsa Sumeria menuliskan tabel perkalian pada lempengan tanah liat dan berurusan dengan
latihan-latihan geometri dan soal-soal pembagian. Jejak terdini sistem bilangan
Babilonia juga merujuk pada periode ini.[18]
Sebagian besar lempengan tanah liat yang sudah
diketahui berasal dari tahun 1800 sampai 1600 SM, dan meliputi topik-topik
pecahan, aljabar, persamaan kuadrat dan kubik, dan perhitungan bilangan regular, invers perkalian, dan bilangan prima kembar.[19] Lempengan itu juga meliputi tabel
perkalian dan metode penyelesaian persamaan linear dan persamaan kuadrat. Lempengan Babilonia 7289 SM
memberikan hampiran bagi √2 yang akurat sampai lima tempat desimal.
Matematika Babilonia ditulis menggunakan sistem bilangan seksagesimal (basis-60). Dari sinilah
diturunkannya penggunaan bilangan 60 detik untuk semenit, 60 menit untuk satu
jam, dan 360 (60 x 6) derajat untuk satu putaran lingkaran, juga penggunaan detik dan menit
pada busur lingkaran yang melambangkan pecahan derajat. Kemajuan orang
Babilonia di dalam matematika didukung oleh fakta bahwa 60 memiliki banyak
pembagi. Juga, tidak seperti orang Mesir, Yunani, dan Romawi, orang Babilonia
memiliki sistem nilai-tempat yang sejati, di mana angka-angka yang dituliskan
di lajur lebih kiri menyatakan nilai yang lebih besar, seperti di dalam sistem desimal. Bagaimanapun, mereka kekurangan
kesetaraan koma desimal, dan sehingga nilai tempat suatu simbol seringkali
harus dikira-kira berdasarkan konteksnya.
Matematika Jaman Mesir Kuno
Matematika Mesir merujuk pada matematika yang ditulis di dalam bahasa Mesir. Sejak peradaban
helenistik, Yunani menggantikan bahasa Mesir sebagai
bahasa tertulis bagi kaum terpelajar Bangsa Mesir, dan sejak itulah matematika Mesir
melebur dengan matematika Yunani dan Babilonia yang membangkitkan Matematika helenistik. Pengkajian matematika di Mesir berlanjut di bawah Khilafah Islam sebagai bagian dari matematika Islam, ketika bahasa Arab menjadi bahasa tertulis bagi kaum
terpelajar Mesir.
Tulisan matematika Mesir yang paling panjang adalah Lembaran Rhind (kadang-kadang disebut juga "Lembaran
Ahmes" berdasarkan penulisnya), diperkirakan berasal dari tahun 1650 SM
tetapi mungkin lembaran itu adalah salinan dari dokumen yang lebih tua dari Kerajaan Tengah yaitu dari tahun 2000-1800 SM.[20] Lembaran itu adalah manual
instruksi bagi pelajar aritmetika dan geometri. Selain memberikan rumus-rumus
luas dan cara-cara perkalian, perbagian, dan pengerjaan pecahan, lembaran itu
juga menjadi bukti bagi pengetahuan matematika lainnya,[21] termasuk bilangan komposit dan prima; rata-rata aritmetika, geometri, dan harmonik; dan pemahaman sederhana Saringan
Eratosthenes dan teori bilangan sempurna (yaitu, bilangan 6).[22] Lembaran itu juga berisi cara
menyelesaikan persamaan
linear orde satu [23] juga barisan aritmetika dan geometri.[24]
Juga tiga unsur geometri yang tertulis di dalam
lembaran Rhind menyiratkan bahasan paling sederhana mengenai geometri analitik: (1) pertama, cara memperoleh
hampiran yang akurat
kurang dari satu persen; (2) kedua, upaya kuno penguadratan lingkaran; dan (3) ketiga, penggunaan terdini
kotangen.
Naskah matematika Mesir penting lainnya adalah lembaran Moskwa, juga dari zaman Kerajaan Pertengahan, bertarikh kira-kira 1890 SM.[25] Naskah ini berisikan soal kata
atau soal cerita, yang barangkali ditujukan sebagai hiburan. Satu soal
dipandang memiliki kepentingan khusus karena soal itu memberikan metoda untuk
memperoleh volume limas terpenggal: "Jika Anda
dikatakan: Limas terpenggal setinggi 6 satuan panjang, yakni 4 satuan panjang
di bawah dan 2 satuan panjang di atas. Anda menguadratkan 4, sama dengan 16.
Anda menduakalilipatkan 4, sama dengan 8. Anda menguadratkan 2, sama dengan 4.
Anda menjumlahkan 16, 8, dan 4, sama dengan 28. Anda ambil sepertiga dari 6,
sama dengan 2. Anda ambil dua kali lipat dari 28 twice, sama dengan 56. Maka
lihatlah, hasilnya sama dengan 56. Anda memperoleh kebenaran."
Akhirnya, lembaran Berlin (kira-kira 1300 SM [26]) menunjukkan bahwa bangsa Mesir
kuno dapat menyelesaikan persamaan aljabar orde dua.[27]
Matematika Yunani
Matematika
Yunani merujuk pada matematika yang ditulis di dalam bahasa Yunani antara tahun
600 SM sampai 300 M.[28] Matematikawan
Yunani tinggal di kota-kota sepanjang Mediterania bagian timur, dari Italia hingga ke Afrika Utara, tetapi mereka
dibersatukan oleh budaya dan bahasa yang sama. Matematikawan Yunani pada
periode setelah Iskandar
Agung
kadang-kadang disebut Matematika Helenistik.
Matematika Yunani lebih berbobot daripada
matematika yang dikembangkan oleh kebudayaan-kebudayaan pendahulunya. Semua
naskah matematika pra-Yunani yang masih terpelihara menunjukkan penggunaan
penalaran induktif, yakni pengamatan yang berulang-ulang yang digunakan untuk
mendirikan aturan praktis. Sebaliknya, matematikawan Yunani menggunakan
penalaran deduktif. Bangsa Yunani menggunakan logika untuk menurunkan simpulan
dari definisi dan aksioma, dan menggunakan kekakuan matematika untuk membuktikannya.[29]
Matematika Yunani diyakini dimulakan oleh Thales dari Miletus
(kira-kira 624 sampai 546 SM) dan Pythagoras dari Samos
(kira-kira 582 sampai 507 SM). Meskipun perluasan pengaruh mereka
dipersengketakan, mereka mungkin diilhami oleh Matematika Mesir
dan Babilonia.
Menurut legenda, Pythagoras bersafari ke Mesir untuk mempelajari matematika,
geometri, dan astronomi dari pendeta Mesir.
Thales menggunakan geometri
untuk menyelesaikan soal-soal perhitungan ketinggian piramida dan jarak perahu
dari garis pantai. Dia dihargai sebagai orang pertama yang menggunakan
penalaran deduktif untuk diterapkan pada geometri, dengan menurunkan empat
akibat wajar dari teorema Thales.
Hasilnya, dia dianggap sebagai matematikawan sejati pertama dan pribadi pertama
yang menghasilkan temuan matematika.[30]
Pythagoras mendirikan Mazhab Pythagoras,
yang mendakwakan bahwa matematikalah yang menguasai semesta dan semboyannya
adalah "semua adalah bilangan".[31]
Mazhab Pythagoraslah yang menggulirkan istilah "matematika", dan
merekalah yang memulakan pengkajian matematika. Mazhab Pythagoras dihargai
sebagai penemu bukti pertama teorema Pythagoras,[32]
meskipun diketahui bahwa teorema itu memiliki sejarah yang panjang, bahkan
dengan bukti keujudan bilangan irasional.
Eudoxus
(kira-kira 408 SM sampai 355 SM) mengembangkan metoda kelelahan,
sebuah rintisan dari Integral modern. Aristoteles
(kira-kira 384 SM sampai 322 SM) mulai menulis hukum logika. Euklides
(kira-kira 300 SM) adalah contoh terdini dari format yang masih digunakan oleh
matematika saat ini, yaitu definisi, aksioma, teorema, dan bukti. Dia juga
mengkaji kerucut.
Bukunya, Elemen, dikenal di segenap
masyarakat terdidik di Barat hingga pertengahan abad ke-20.[33]
Selain teorema geometri yang terkenal, seperti teorem Pythagoras, Elemen
menyertakan bukti bahwa akar kuadrat dari dua adalah irasional dan terdapat
tak-hingga banyaknya bilangan prima. Saringan Eratosthenes
(kira-kira 230 SM) digunakan untuk menemukan bilangan prima.
Archimedes (kira-kira 287 SM
sampai 212 SM) dari Syracuse
menggunakan metoda kelelahan
untuk menghitung luas
di bawah busur parabola
dengan penjumlahan barisan tak
hingga, dan memberikan hampiran yang cukup akurat terhadap Pi.[34]
Dia juga mengkaji spiral yang
mengharumkan namanya, rumus-rumus volume benda putar,
dan sistem rintisan untuk menyatakan bilangan yang sangat besar.
Dalam matematika Yunani,angka bisa
dikembangkan hanya dengan proses penambahan dan pengalian yang sangat
melelahkan. Berbagai symbol Khawarizmi mengandung potensi adanya angka yang
tidak terbatas. Jadi kita mungkin bisa mengatakan bahwa perkembangan dari
aritmatika ke aljabar merupakan langkah dari ada ke “menjadi”, dan dari dunia
Yunani ke dunia Islam yang hidup.” Kutipan ini diambil dari kata – kata George
Sarton dalam bukunya Introduction to the History of Science, 1972.
Kutipan tersebut, menyimpulkan bahwa Islam sendiri memberikan sumbangan yang
besar dalam perkembangan ilmu matematika itu sendiri.
Dan matematika, adalah sebuah ilmu
yang sudah tidak asing lagi kita dengar pada saat ini. Hampir semua orang,
mengenal matematika. Bahkan, dalam institusi formal pun semenjak kita mengecap
pendidikan TK hingga Sekolah Menengah Umum (SMU) pun diharuskan mempelajari
matematika. Dan banyak orang mengira bahwa matematika adalah ilmu yang
dihasilkan oleh para ilmuwan Barat sehingga didalamnya jauh dari nilai – nilai
spiritual. Padahal menurut Abdusysyakir dalam bukunya yang berjudul Ketika Kyai
Mengajar Matematika, sesungguhnya matematika itu memiliki hubungan yang
sangat erat dengan tradisi spiritual umat Islam, akrab dengan al-Qur’an, dan
tentunya matematika juga dapat dijadikan sebagai “jalan” menuju pencapaian
manfaat-kebahagiaan baik di dunia maupun akhirat.
Matematika berada pada posisi di
antara dunia nyata dan dunia ghaib. Matematika tidak berada di dunia nyata
sehingga objek matematika bersifat abstrak dan tidak berada di dunia ghaib
sehingga objek matematika bukan suatu “penampakan”. Membawa objek dunia nyata
ke dalam bahasa matematika disebut dengan abstraksi dan mewujudkan matematika
dalam dunia nyata disebut aplikasi. Matematika berada di antara dunia syahadah
dan ghaibiyah.
Dengan demikian, maka matematika
bersifat “setengah nyata dan setengah gaib”. Untuk memahami objek yang nyata
diperlukan pendekatan rasionalis, empiris, dan logis (bayani dan burhani).
Sedangkan untuk memahami objek yang gaib diperlukan pendekatan intuitif,
imajinatif, dan metafisis (irfani). Kekuatan utama dalam matematika
justru terletak pada imajinasi atau intuisi yang kemudian diterima setelah
dibuktikan secara logis atau deduktif. Dengan demikian, maka untuk mempelajari
matematika perlu penggabungan ketiga pendekatan tersebut, yaitu bayani, burhani,
dan ‘irfani.
Sehingga , matematika perlu
dipelajari dengan kedua potensi kita, jasmani dan ruhani, aql dan qalb
secara bersamaan. Qalb saja memang dapat mempelajari matematika, tetapi
kadang tidak dapat memberikan penjelasan yang logis dan rasional. Qalb dapat
menjawab 3 + 4 = 7, tetapi kadang tidak dapat menjawab mengapa bisa 7. Aql
saja dapat mempelajari matematika, tetapi kadang terlalu lama dalam berpikir
dan tidak dapat menangkap hakikat. Belajar matematika perlu melibatkan potensi
intelektual, emosional, dan spiritual secara bersamaan. Perlu penggunaan aql
dan qalb secara bersama, melalui jalur jasmani (kasab) dan juga
jalur ruhani (kasyaf). Aspek pengembangan kemampuan berpikir (kognitif),
sikap (afektif), dan prilaku (psikomotor) dalam belajar
matematika dapat tercapai dengan baik dengan paradigma ulul albab. Potensi
dzikir untuk mengembangkan aspek afektif dan fikir untuk mengembangkan aspek kognitif
agar menghasilkan amal sholeh (psikomotor). Belajar matematika yang
abstrak, yang memerlukan kemampuan pikir dan imajinasi dapat dilakukan dengan
paradigma ulul albab yang menggunakan pendekatan rasionalis, empiris, dan logis
(bayani dan burhani) sekaligus pendekatan intuitif, imajinatif,
dan metafisis (irfani).
Pada bagian kedua, penulis mengurai
tentang aspek-aspek matematika yang termaktub dalam al-Qur’an. Penulis ingin
membuktikan bahwa ternyata di dalam al-Qur’an itu juga membicarakan
konsep–konsep matematika. Hal ini akan dapat mematahkan “kepercayaan” sebagian
orang yang meyakini bahwa matematika itu produk Barat. Konsep yang dipaparkan
di antaranya mengenai: konsep himpunan, bilangan, pengukuran, statistika,
estimasi, dan keajaiban-keajaiban matematika lainnya yang tersurat dalam
al-Qur’an.1
Dan tahukah anda bahwa ilmu
matematika itu sendiri pertama kali diperkenalkan oleh seorang ilmuwan Islam
yaitu Abu Abdullah Muhammad Ibn Musa Al-Khwarizmi atau yang biasa dikenal di
kawasan Eropa dengan nama Algorisme. Al-Khwarizmi adalah orang muslim pertama
dalam ilmu hitung atau matematika.. Beliau yang pertama kali menemukan
Algorisme. Algorisme itu sendiri adalah sistem hitungan nilai menurut tempat,
dari kanan ke kiri, puluhan ratusan, ribuan, dan seterusnya, begitu pula sistem
decimal (persepuluhan) sebagai umum pengganti sistem sexagesimal
(perenampuluhan) yang umum dicapai zaman dulu dalam kebudayaan – kebudayaan
Semit.
Selain itu, Al-Khawarizmi juga
menemukan riwayat angka nol. Angka nol dalam bahasa Arab disebut sifr. Dengan
angka ini kita bisa menghitung puluha, ratusan, ribuan dan seterusnya. Karena
pada zaman dulu, untuk menghitung digunakan alat yg disebut dengan abacus atau
sempoa. Dan AL-Khawarizmi juga membuat sebuah buku yang telah disalin kedalam
bahasa Latin oleh Prince Boncompagni yang berjudul “Trattati d’Arithmetica”.
Buku ini menmbahas beberapa soal hitungan dan asal usul angka. Buku ini terbit
di Roma pada tahun 1857M.
Karya Al-Khawarizmi yang lain adalah
aljabar. Dan yang menarik adalah bahwa dalam mengembangkan aljabar, terdapat
sesuatu yang sangat religius di dalam pemikiran Al-Khawarizmi, tidak hanya
teori abstrak. Ia menulis buku tentang aljabar sebagai tanggapan dari
permintaan Khalifah untuk menciptakan metode yg sederhana untuk membuat
perhitungan berdasarkan prinsip Islam mengenai warisan, harta pusaka dan
lainnya.2 Sehingga terciptalah aljabar yang menggunakan variable –
variable. dalam bidang aljabar, belum pernah ada metode yang bagus kecuali setelah
al-Khawarizmi menulis bukunya yang berjudul al-Mukhtashar fi Hisab al-Jabr
wa al-Muqabalah. Uraian dan perkalian merupakan operasi bagi semua masalah
ilmu pasti yang terangkum dalam enam persamaan.3
1. AB2 = CB
2. AB2 = D
3. AB = D
4. AB2 + BC = D
5. AB + D = BC
6. BC + D = AB2
Selain Al-Khawarizmi, masih ada nama
– nama ilmuwan Islam lain yang memberikan kontribusinya dalam
matematika.seperti Omar Khayyam (1048-1122 M) dan Nashiruddin at-Thusi
(1201-1274 M) menunjukkan bahawa setiap pembesaran rasio, yang sepadan maupun
tidak, adalah bilangan, rasional maupun irrasional. Dan teori tersebut kemudian
secara pelan dan lambat menuju kesempurnaannya disaat bermulanya zaman
renaissans di Eropa. Selain itu juga ada ilmuan lain yang bernama Tsabit Bin
Qurrah yang dianggap sebagai ahli geometri terbesar disamping sebagai
matematikus dan astronomer. Tsabit bin Qurrah merupakan penyempurna atas karya
– karya Al-Khawarizmi. Ia menemukan pemecahan soal khusus tentang persamaan
pangkat tiga (kubik). Dan persamaan tersebut sebenarnya sudah menjadi perhatian
di kalangan ilmuwan Muslim, terutama sekali oleh para ahli matematika, misalnya
Abu Ja’far Al-Khazin yang sanggup menyelesaikannya dengan bagian – bagian atau
memecahkan kerucut. Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa para ilmuwan
Islam memberikan kontribusi yang sangat besar bagi perkembangan matematika.
Hampir sebagian teori matematika dasar ditemukan dan dikembangkan oleh para
ilmuwan Muslim sehingga bisa berkembang seperti sekarang ini..
Matematika Cina
Matematika Cina permulaan adalah berlainan bila
dibandingkan dengan yang berasal dari belahan dunia lain, sehingga cukup masuk
akal bila dianggap sebagai hasil pengembangan yang mandiri.[35]
Tulisan matematika yang dianggap tertua dari Cina adalah Chou Pei Suan Ching, berangka
tahun antara 1200 SM sampai 100 SM, meskipun angka tahun 300 SM juga cukup
masuk akal.[36]
Hal yang menjadi catatan khusus dari penggunaan
matematika Cina adalah sistem notasi posisional bilangan desimal, yang disebut
pula "bilangan batang" di mana sandi-sandi yang berbeda digunakan
untuk bilangan-bilangan antara 1 dan 10, dan sandi-sandi lainnya sebagai
perpangkatan dari sepuluh.[37]
Dengan demikian, bilangan 123 ditulis menggunakan lambang untuk "1",
diikuti oleh lambang untuk "100", kemudian lambang untuk
"2" diikuti lambang utnuk "10", diikuti oleh lambang untuk
"3". Cara seperti inilah yang menjadi sistem bilangan yang paling
canggih di dunia pada saat itu, mungkin digunakan beberapa abad sebelum periode
masehi dan tentunya sebelum dikembangkannya sistem bilangan India.[38]
Bilangan batang memungkinkan penyajian bilangan sebesar yang diinginkan dan
memungkinkan perhitungan yang dilakukan pada suan pan,
atau (sempoa Cina). Tanggal penemuan suan pan tidaklah pasti, tetapi
tulisan terdini berasal dari tahun 190 M, di dalam Catatan Tambahan tentang
Seni Gambar karya Xu Yue.
Karya tertua yang masih terawat mengenai geometri
di Cina berasal dari peraturan kanonik filsafat Mohisme
kira-kira tahun 330 SM, yang disusun oleh para pengikut Mozi
(470–390 SM). Mo Jing menjelaskan berbagai aspek dari banyak disiplin
yang berkaitan dengan ilmu fisika, dan juga memberikan sedikit kekayaan
informasi matematika.
Pada tahun 212 SM, Kaisar Qín Shǐ Huáng (Shi Huang-ti)
memerintahkan semua buku di dalam Kekaisaran Qin selain daripada yang resmi
diakui pemerintah haruslah dibakar. Dekret ini tidak dihiraukan secara umum,
tetapi akibat dari perintah ini adalah begitu sedikitnya informasi tentang
matematika Cina kuno yang terpelihara yang berasal dari zaman sebelum itu.
Setelah pembakaran
buku pada tahun 212 SM, dinasti
Han (202 SM–220 M) menghasilkan karya matematika yang barangkali
sebagai perluasan dari karya-karya yang kini sudah hilang. Yang terpenting dari
semua ini adalah Sembilan
Bab tentang Seni Matematika, judul lengkap yang muncul dari
tahun 179 M, tetapi wujud sebagai bagian di bawah judul yang berbeda. Ia
terdiri dari 246 soal kata yang melibatkan pertanian, perdagangan, pengerjaan
geometri yang menggambarkan rentang ketinggian dan perbandingan dimensi untuk
menara pagoda Cina,
teknik, survey,
dan bahan-bahan segitiga siku-siku
dan π.
Ia juga menggunakan prinsip Cavalieri
tentang volume lebih dari seribu tahun sebelum Cavalieri mengajukannya di
Barat. Ia menciptakan bukti matematika untuk teorema Pythagoras, dan rumus
matematika untuk eliminasi Gauss.
Liu Hui
memberikan komentarnya pada karya ini pada abad ke-3 M.
Sebagai tambahan, karya-karya matematika dari astronom
Han dan penemu Zhang Heng (78–139) memiliki perumusan untuk pi juga, yang berbeda dari cara perhitungan yang dilakukan oleh Liu Hui.
Zhang Heng menggunakan rumus pi-nya untuk menentukan volume bola. Juga terdapat
karya tertulis dari matematikawan dan teoriwan musik Jing Fang (78–37 SM); dengan menggunakan koma Pythagoras, Jing mengamati bahwa 53 perlimaan sempurna menghampiri 31 oktaf. Ini kemudian mengarah pada penemuan 53 temperamen sama, dan tidak pernah dihitung dengan tepat di tempat lain hingga seorang Jerman, Nicholas Mercator melakukannya pada abad ke-17.
Bangsa Cina juga membuat penggunaan diagram
kombinatorial kompleks yang dikenal sebagai kotak ajaib dan lingkaran ajaib, dijelaskan di zaman kuno dan
disempurnakan oleh Yang Hui (1238–1398 M). Zu Chongzhi (abad ke-5) dari Dinasti Selatan dan Utara menghitung nilai pi sampai tujuh tempat desimal, yang
bertahan menjadi nilai pi paling akurat selama hampir 1.000 tahun.
Bahkan setelah matematika Eropa mulai mencapai
kecemerlangannya pada masa Renaisans, matematika Eropa dan Cina adalah
tradisi yang saling terpisah, dengan menurunnya hasil matematika Cina secara
signifikan, hingga para misionaris Jesuit seperti Matteo Ricci membawa gagasan-gagasan matematika
kembali dan kemudian di antara dua kebudayaan dari abad ke-16 sampai abad
ke-18.
Matematika India
Peradaban terdini anak benua India adalah Peradaban Lembah Indus yang
mengemuka di antara tahun 2600 dan 1900 SM di daerah aliran Sungai
Indus. Kota-kota mereka teratur secara geometris, tetapi dokumen
matematika yang masih terawat dari peradaban ini belum ditemukan.[39]
Matematika Vedanta dimulakan di India sejak Zaman
Besi. Shatapatha Brahmana
(kira-kira abad ke-9 SM), menghampiri nilai π,[40]
dan Sulba Sutras
(kira-kira 800–500 SM) yang merupakan tulisan-tulisan geometri
yang menggunakan bilangan irasional, bilangan
prima, aturan
tiga dan akar kubik;
menghitung akar kuadrat dari 2 sampai
sebagian dari seratus ribuan; memberikan metode konstruksi lingkaran yang luasnya
menghampiri persegi yang diberikan,[41]
menyelesaikan persamaan linear dan kuadrat;
mengembangkan tripel Pythagoras
secara aljabar, dan memberikan pernyataan dan bukti numerik untuk teorema Pythagoras.
Pāṇini
(kira-kira abad ke-5 SM) yang merumuskan aturan-aturan tata bahasa Sanskerta.[42]
Notasi yang dia gunakan sama dengan notasi matematika modern, dan menggunakan
aturan-aturan meta, transformasi,
dan rekursi.
Pingala
(kira-kira abad ke-3 sampai abad pertama SM) di dalam risalahnya prosody
menggunakan alat yang bersesuaian dengan sistem bilangan biner.
Pembahasannya tentang kombinatorika meter
bersesuaian dengan versi dasar dari teorema
binomial. Karya Pingala juga berisi gagasan dasar tentang bilangan Fibonacci (yang
disebut mātrāmeru).[43]
Surya
Siddhanta (kira-kira 400) memperkenalkan fungsi trigonometri sinus, kosinus,
dan balikan sinus, dan meletakkan aturan-aturan yang menentukan gerak sejati
benda-benda langit, yang bersesuaian dengan posisi mereka sebenarnya di langit.[44]
Daur waktu kosmologi dijelaskan di dalam tulisan itu, yang merupakan salinan
dari karya terdahulu, bersesuaian dengan rata-rata tahun siderik
365,2563627 hari, yang hanya 1,4 detik lebih panjang daripada nilai modern
sebesar 365,25636305 hari. Karya ini diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab dan bahasa Latin pada Zaman
Pertengahan.
Aryabhata, pada tahun 499,
memperkenalkan fungsi versinus,
menghasilkan tabel trigonometri India pertama
tentang sinus, mengembangkan teknik-teknik dan algoritma
aljabar,
infinitesimal,
dan persamaan diferensial, dan
memperoleh solusi seluruh bilangan untuk persamaan linear oleh sebuah metode
yang setara dengan metode modern, bersama-sama dengan perhitungan astronomi
yang akurat berdasarkan sistem heliosentris
gravitasi.[45]
Sebuah terjemahan bahasa Arab dari karyanya Aryabhatiya
tersedia sejak abad ke-8, diikuti oleh terjemahan bahasa Latin pada abad ke-13.
Dia juga memberikan nilai π yang bersesuaian dengan 62832/20000 = 3,1416. Pada
abad ke-14, Madhava dari Sangamagrama
menemukan rumus Leibniz untuk pi,
dan, menggunakan 21 suku, untuk menghitung nilai π sebagai 3,14159265359.