Senin, 26 Agustus 2013

Cita-cita vs Nafsu


Makna Cita-Cita
Apa itu makna cita-cita?
cita-cita merupakan keinginan, harapan, dan tujuan manusia atau bisa juga diartikan bahwa Cita-cita adalah suatu impian dan harapan seseorang akan masa depannya,cita-cita itu adalah tujuan hidup.Cita-cita yang baik adalah cita-cita yang dapat dicapai melalui kerja keras, kreativitas, inovasi, dukungan orang lain dan sebagainya.Keberanian kita mengambil resiko hari ini bisa jadi menjadi kesuksesan tak terduga di masa depan kita.

Setiap manusia memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri, tidak ada manusia yang persis sama. Dari sekian banyak manusia, ternyata masing-masing memiliki keunikan dan perbedaan antara satu dengan yang lainya. Dari keunikan keunikan dan perbedaan perbedaan tersebut manusia mempunyai cita cita yang berbeda beda juga. Setiap manusia yang hidup pasti mempunyai cita-cita yang didambakannya yang menjadi impian dan tujuan masing masing. Dalam mencapai cita-citanya dan tujuanya, manusia tidak akan mampu hidup secara individu/sendiri. Dalam segala aspek, manusia sebagai makhluk sosial pasti membutuhkan bantuan dan hubungan dengan manusia yang lain. Manusia hidup secara tolong menolong, saling membutuhkan.Cita-cita tersebut merupakan keinginan dan tujuan yang ingin dicapai oeh manusia sebagai sebuah harapan. Dalam mewujudkan cita-citanya manusia tersebut, pasti terhalang oleh suatu masalah-masalah yang dapat menggagu dan menghambat terwujudnya dan tercapainya cita-cita tersebut. dari masalah masalah itu manusia akan mendapatkan banyak hikmah dan pengalaman yang bisa digunakan dalam kehidupan yang akan datang. Apabila manusia tersebut tidak belajar pada masalah yang datang, maka proses pencapaian cita-cita akan berlangsung lama bahkan tidak tercapai sama sekali. Setiap manusia dituntut berusaha sendiri untuk mencapai cita-cita yang diinginkannya.dari masalah masalah itu juga akan diuji kesabaran manusia atas apa yang di inginkanya. selain berusaha secara fisik,manusia juga harus berdoa kepada tuhan yang telah menciptakan kita . dalam berdoa kita hendaklah berdoa yang baik,dengan agama dan kepercayaan apa yang kita anut. Semua ini dilakukan agar tercapai antara keselarasan hidup di dunia maupun di akhirat. Cita cita tidak akan tercapai kalau kita tidak mau berusaha untuk mencapainya dengan usaha keras. Untuk menggapai cita-cita, harus diiringi tekad kuat dan tidak mudah untuk menyerah serta tidak mudah putus asa. Maka manusia dituntut menjadi pribadi yang selalu berusaha demi tercapainya cita-cita hidup. Manusia haruslah berusaha mencari peluang-peluang untuk mencapai cita-citanya dan tujuanya demi apa yang dia inginkan dimasa yang akan datang.Tapi jangan lupa dengan cita-cita setelah kita mati nanti yaitu masuk surga. Masuk surga pun harus kita perjuangkan selama kita hidup di dunia karena hidup kita pada dasarnya adalah untuk ibadah dan merupakan ujian Tuhan kepada kita. Kita mati tidak membawa apa-apa selain amal ibadah kita.
jadi menurut kesimpulan saya antara manusia,cita-cita dan tuhan sangatlah terkait dan tidak bisa di pisahkan. manusia sebagai sebagai mahluk sosial saling membutuhkan dengan yang lainya ,dalam proses perjalanannya manusia pasti memiliki cita cita dan tujuan . untuk melakukan perwujudan cita cita tersebut manusia berdoa dan meminta kepada tuhan tapi harus di sertai dengan usaha dan kerja keras dalam mencapi tujuannya,selama dalam usaha mencapai cita cita pasti dihadapkan pada haangan dan hambatan,halangan dan hambatan tersebut menjadi ujian bagi manusia yang akan menjadikan manusia menjadi lebih kuat dalam menghadapai kehidupan di dinia ini.
makna cita-cita dalam kehidupan

Bila ada cita-cita maka siapapun akan menjadi luar biasa. Bila ada keberanian pasti ada kemukjizatan. Demikian Sang Guru berkata.
kalian semua pasti mempunyai cita cita kan ? hmmm.... jadi ingat waktu saya masih duduk di bangku TK. “anak anak cita cita kalian  ingin menjadi apa ?”  kata ibu guru yang cantik .
 “jadi dokter bu.. “    “polisi bu guru..”   “jadi pilot.. “  dan saya pun menjawab “ingin jadi ultraman bu”. Si bu guru yang cantik hanya tersenyum.
Cita cita saya waktu TK ingin menjadi ultraman, karena pikiran saya waktu kecil jadi ultraman itu menyenangkan, bisa menjadi pahlawan yang melindungi bumi . Seperti itulah imajinasi saya waktu masih TK karena kebanyakan nonton film ultraman di TV hehehe... Tp itu kan cita cita waktu saya masih TK sekarang gak dong. .
Cita cita saya sekarang ingin menjadi seorang forografer pfofessional .
Kembali ke topik, Cita cita merupakan sebuah ambisi yang  ingin kita capai  dalam hidup kita. Begitu pentingnya sebuah cita-cita dalam  kehidupan  kita Karena cita-cita merupakan kompas bagi kehidupan.
Dengan adanya cita-cita yang kuat secara tidak langsung seseorang terlatih mental untuk melawan segala hambatan, misalnya melawan  rasa malas.
Cita-cita menjadi sebuah tujuan seseorang yang harus dia kejar. Seiring dengan adanya cita-cita yang kuat tersebut, seseorang akan berusaha meningkatkan kemampuannya agar cita-citanya bisa tercapai. Yaitu dengan belajar dan berlatih segala hal yang menunjung cita-cita tersebut. Misalnya seseorang  ingin menjadi seorang dokter, berarti dia harus banyak belajar biologi dan pelajaran IPA lainnya hingga benar-benar menguasai.
Dengan  mempunyai cita cita hidup kita terasa lebih bermakna karena kita bisa merasakan indahnya perjuangan hidup.
Dan yang paling penting apapun cita cita kalian, tetaplah berusaha mengejar cita cita tersebut. Dan jangan lupa di iringi dengan berdo’a kepada Tuhan yang maha esa .(berani bercita-cita)
CITA-CITA
       Cita-cita adalah keinginan, harapan dan tujuan yang selalu ada dalam pikiran. Itu semua merupakan yang harus diperoleh seseorang pada masa mendatang.
Apabila cita-cita itu tidak bisa terpenuhi, maka cita-cita itu sendiri di sebut dengan angan-angan.
       Diantara masa sekarang yang merupakan realita dengan masa yang akan datang sebagai ide atau cita-cita terdapat jarak waktu. Ada 3 faktor yang mempengaruhi untuk mencapai cita-cita tersebut, yaitu :
1. Faktor Manusia, tergantung dari dirinya sendiri apa dia mau mencapai cita-citanya atau tidak. Dan harus dilakukan dengan usaha nya sendiri.
2. Faktor kondisi, sesuai kondisi yang sedang dia rasakan. Apa dia bisa menempati sesuai kondisi yang dia alami atau tidak.
3. Faktor tingginya cita-cita, semakin tinggi cita-cita kita semakin besar pula usaha yang harus kita lakukan tergantung apa cita-cita yang kita inginkan. (Benhova, 2013)
Hibur Dunia : Saya teringat beberapa pesan dari guru SD, beliau berpesan "Gantungkan cita-citamu setinggi langit" dan "Kejarlah cita-citamu sampai ke negeri Cina". Saat itu umur saya masih delapan tahun, saya tidak mengerti apa itu cita-cita, dan untuk apa cita-cita itu dikejar. Kadang saya bertanya, kenapa sih orang-orang dewasa itu selalu menanyakan, "Rief, Nanti kalo udah besar kamu mau jadi apa?".
Saya dengan polos menjawab "Jadi Pilot", Padahal saya tidak tahu apa itu pilot dan seperti apa jadi seorang pilot. Yang saya tahu pilot itu yang menyetir pesawat terbang. 

Tahukah Anda alasan kenapa guru dan orang-orang dewasa selalu membahas tentang cita-cita kepada anaknya?. Sebenarnya dibalik kata cita-cita tersirat makna dan tujuan yang sangat berharga. Mereka bermaksud untuk membangun mental, niat, dan arah/tujuan sang anak. Sekarang saya menyadari bahwa dengan memiliki cita-cita dan keinginan yang kuat, alam bawah sadar kita akan terus menuntun untuk berjalan ke arah cita-cita tersebut dan membantu kita melawan segala hambatan yang menghadang. 

Memang menjadi suatu keharusan orang tua atau guru untuk membangun cita-cita sang anak sejak dini. Jangan lupa, orang tua juga harus mampu menyeseuaikan bakat dan minat anak agar dia senang mengejar cita-citanya. Dan yang terpenting, Anda sebagai orang tua juga harus mampu menjelaskan apa cita-cita itu kepada anak Anda.
Secara garis besar, manfaat mempunyai cita-cita yang kuat sejak dini adalah :
Hidup mempunyai jalan atau arah yang jelas
Hal ini sudah jelas, dengan mempunyai cita-cita, sang anak akan tahu kemana arah hidup yang akan dia jalani, dan dia pun tahu tujuan dia belajar, menuntut ilmu, bersekolah, dan segala macamnya. Tujuannya yaitu mengejar cita-cita dan berusaha sekuat mungkin untuk mengejar cita-cita tersebut. Dan jika suatu saat nanti ada hal yang mengalihkan pikirannya dan bisa membawanya keluar dari jalur cita-cita, disinilah peran orang tua sangat dibutuhkan untuk menuntun anak kembali ke jalur yang seharusnya.
Mental dan niat semakin terasah
Dengan adanya cita-cita yang kuat, mental untuk melawan segala hambatan akan terasah, misalnya melawan rasa malas, kantuk, dan godaan bermain Game akan teratasi. Hal ini biasa melanda anak SMP atau sederajat, tapi ini akan mudah teratasi jika anak sudah tahu bahwa semua itu hanya akan menghambat niatnya mengejar cita-cita.
Terus Belajar dan Berlatih
Cita-cita menjadi sebuah tujuan anak yang harus dia kejar. Seiring dengan adanya cita-cita yang kuat tersebut, anak akan berusaha meningkatkan kemampuannya agar cita-citanya bisa tercapai. Yaitu dengan belajar dan berlatih segala hal yang menunjung cita-cita tersebut. Misalnya anak ingin menjadi seorang dokter, berarti dia harus banyak belajar biologi dan pelajaran IPA lainnya hingga benar-benar menguasai.

Itulah beberapa hal yang bisa saya bagikan, artikel ini saya buat berdasarkan pengalaman belaka. Saat ini saya menyadari bahwa, dengan mempunyai cita-cita yang kuat, kita akan tahu arah jalan hidup kita dan berusaha menghindari segala godaan yang bisa merusak jalannya. Dan dengan itu, kita akan menjadi orang yang sukses, walau nantinya tidak sesuai dengan cita-cita yang kita idamkan semaca kecil dulu.

Sama halnya dengan saya, semasa kecil saya mengindamkan jadi pilot yang kemudian bercita-cita menjadi dokter, namun akhirnya saya menjadi seorang pengawal keuanganan Negara. Tapi itu tidak buruk, karena meraih pekerjaan seperti itu merupakan sebuah kesuksesan yang luar biasa buat saya. Semoga hal ini juga bermanfaat buat Anda dan kesuksesan anak Anda kelak. Terima kasih.

Cita-cita adalah suatu impian dan harapan seseorang akan masa depannya, bagi sebagian orang cita-cita itu adalah tujuan hidup dan bagi sebagian yang lain cita-cita itu hanyalah mimpi belaka. Bagi orang yang menganggapnya sebagai tujuan hidupnya maka cita-cita adalah sebuah impian yang dapat membakar semangat untuk terus melangkah maju dengan langkah yang jelas dan mantap dalam kehidupan ini sehingga ia menjadi sebuah akselerator pengembangan diri namun bagi yang menganggap cita-cita sebagai mimpi maka ia adalah sebuah impian belaka tanpa api yang dapat membakar motivasi untuk melangkah maju. Manusia tanpa cita-cita ibarat air yang mengalir dari pegunungan menuju dataran rendah, mengikuti kemana saja alur sungai membawanya. Manusia tanpa cita-cita bagaikan seseorang yang sedang tersesat yang berjalan tanpa tujuan yang jelas sehingga ia bahkan dapat lebih jauh tersesat lagi. Ya, cita-cita adalah sebuah rancangan bangunan kehidupan seseorang, bangunan yang tersusun dari batu bata keterampilan, semen ilmu dan pasir potensi diri.

Bagaimanakah jadinya nanti jika kita memiliki beribu-ribu batu bata, berpuluh-puluh karung semen dan berkubik-kubik pasir serta bahan-bahan bangunan yang lain untuk membuat rumah namun kita tidak mempunyai rancangan maupun bayangan seperti apakah bentuk rumah itu nanti. Alhasil, mungkin kita akan mendapatkan rumah dengan bentuk yang aneh, gampang rubuh atau bahkan kita tidak akan pernah bisa membuat sebuah rumah pun.

Fenomena seseorang tanpa cita-cita bisa dengan mudah kita temui, cobalah tanya kepada beberapa orang siswa SMU yang baru lulus, akan melanjutkan studi di mana mereka atau apa yang akan mereka lakukan setelah mereka lulus. Mungkin sebagian dari mereka akan menjawab tidak tahu, menjawab dengan rasa ragu, atau mereka menjawab mereka akan memilih suatu jurusan favorit di PTN tertentu. Apakah jurusan favorit tersebut mereka pilih karena memang mereka tahu potensi mereka, tahu seperti apa gambaran umum perkuliahan di jurusan tersebut dan peluang-peluang yang dapat mereka raih kedepannya karena berkuliah di jurusan tersebut, sekedar ikut-ikutan teman, gengsi belaka, trend, karena mengikuti “anjuran” orang tua, atau bahkan asal pilih? Yang terjadi selanjutnya adalah di saat perkuliahan sudah berlangsung, beberapa dari mereka ada merasa jurusan yang dipilihnya tidak sesuai dengan apa yang dia bayangkan atau tidak sesuai dengan kemampuannya. Boleh jadi setelah itu ia akan mengikuti ujian lagi di tahun depan atau malas-malasan belajar dengan Indeks Prestasi Kumulatif alakadarnya. Sungguh suatu pemborosan terhadap waktu, biaya dan tenaga.

Dahulu ada sebuah tradisi kurung ayam, balita yang sudah berumur beberapa bulan dikurung dalam sebuah kurungan ayam yang ditutuipi kain. Lalu di sekeliling kurungan tersebut disimpan berbagai macam benda yang mewakili profesi seperti gitar (musisi),
spidol (pengajar/guru), sarung tinju (atlit), pesawat-pesawatan (pilot) dan lain-lain. Lalu orang tua akan memperhatikan benda apakah yang pertama kali diambil oleh balita tersebut, jika ia mengambil terompet maka orang tua akan beranggapan sang bayi kelak akan menjadi seorang musisi atau berpotensi menjadi seorang musisi. Namun tampaknya adat semacam ini jarang dilakukan lagi. Nilai yang dapat diambil dari tradisi semacam ini adalah bahwa orang tua mempunyai peranan penting dalam memfasilitasi anaknya untuk mengeksplorasi bakat dan minat yang dipunyainya. Dan membantu untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya.

Cita-cita bukan hanya terkait dengan sebuah profesi namun lebih dari itu ia adalah sebuah tujuan hidup. Seperti ada seseorang yang bercita-cita ingin memiliki harta yang banyak, menjadi orang terkenal, mengelilingi dunia, mempunyai prestasi yang bagus dan segudang cita-cita lainnya. Namun seorang muslim tentunya akan menempatkan cita-citanya di tempat yang paling tinggi dan mulia yaitu menggapai keridhaan Allah.

Terkadang saya bertanya kepada diri sendiri serta rekan yang lain, tentang mau dijadikan seperti apa diri kita di masa depan nanti? Kalau boleh memilih, sudah tentu kita akan lebih memilih untuk menjadi orang sukses, iya kan? Kalau memang seperti itu, tapi kenapa sepertinya kita tidak ada usaha untuk meraih cita-cita sebagai orang sukses? Ini justru aneh kan?
Seharusnya kita bisa menyadari tentang arti sebenarnya dari meraih cita-cita, karena kita hanyalah manusia biasa yang mana memang hanya diberikan satu kesempatan untuk menjalani kehidupan. Dari kesempatan untuk bisa hidup yang telah diberikan kepada kita ini, apakah lantas kita akan menyia-nyakannya begitu saja?
“Hidup enggan mati pun tak mau” suatu istilah yang mungkin bisa menggambarkan kondisi dari mereka-mereka yang tidak pernah mau meraih cita-cita. Hidup semacam itu hanya berisi kebosanan dalam kesehariannya, tidak ada ambisi untuk meraih cita-cita, hidup mereka mengalir seperti air tanpa tujuan yang jelas. Mereka hanya mengikuti arus kehidupan, bukan kah sangat membosankan hidup semacam itu?
Ingatlah kita hidup di dunia ini hanya sekali, jangan sampai kita meninggalkan dunia ini tanpa bisa mendapatkan suatu prestasi apapun. Orang yang tidak memiliki ambisi untuk meraih cita-cita adalah orang yang hanya hidup untuk menunggu mati, apa tidak sia-sia kehidupan seperti itu?
Ada alasan tertentu kenapa pada waktu kita kecil dulu suka ditanya, “Kalau sudah besar nanti, apa cita-citamu?”. Karena begitu polosnya kita pada waktu itu, mungkin kebanyakan akan menjawab untuk bercita-cita sebagai seorang dokter, pilot, tentara, atau terkadang ada saja yang menjawab dengan kepolosannya itu kalau dia ingin masuk surga.
Dan karena ketidak tahuan dari kita dengan maksud yang sebenarnya dari pertanyaan cita-cita itu, sehingga apa yang kita jawab pada waktu itu seakan tidak bisa mempengaruhi pikiran kita untuk meraih cita-cita itu. Seharusnya kita sadar untuk apa kita berusaha meraih cita-cita yang pernah kita ucapkan pada waktu kecil dulu, dengan begitu motivasi di dalam pikiran kita akan tumbuh.
Cita-cita yang pernah kita sebutkan dulu bukanlah suatu hal yang bisa kita sepelekan, kenapa? Karena yang namanya cita-cita adalah suatu motivasi sekaligus doa harapan bagi kita untuk menuju kehidupan masa depan yang terarah, karena jika kita mau berusaha untuk meraih cita-cita itu maka kita sudah memiliki jalur kesuksesan sendiri.
Menjalani kehidupan janganlah seperti air yang mengalir, meski mereka menuju satu tujuan tapi jalur mereka sangatlah tidak jelas. Mungkin saja air yang mengalir ini harus melewati berbagai tempat yang menjijikkan, apakah kita mau menjalani kehidupan semacam itu?
Maka dari itu, tentukan dan berusaha untuk meraih cita-cita mulai dari sekarang adalah hal yang sudah seharusnya kita lakukan untuk menuju kehidupan yang lebih baik di masa depan nanti. Meski jalurnya tidak mudah untuk dilewati, tapi selama kita tahu jalan-jalan yang harus dilalui maka kita tidak perlu untuk melewati jalur yang tidak kita inginkan seperti ilustrasi air tadi, dan itulah gunanya meraih cita-cita.
NB: Anda suka dengan artikel Meraih Cita-cita, Hidup Lebih Berarti di Masa Depan Nanti tersebut? Kalau suka, Anda bisa membagikannya kepada teman-teman Anda menggunakan berbagai fasilitas berikut ini:
Konon ada cerita, dimana terdapat 2 orang yang sekarat dan diprediksi akan meninggal dalam waktu dekat. Satu-satunya jalan untuk mencoba usaha penyembuhan adalah dengan melakukan operasi yang kemungkinan berhasilnya sangatlah kecil. Walaupun, kondisi kedua pasien, bisa dikatakan tidak jauh berbeda (dengan kata lain kedua pasien tidak memiliki harapan hidup yang lebih besar dari yang lain), ditangani oleh dokter dan rumah sakit yang sama dengan fasilitas dan alat pendukung operasi yang juga sama, ternyata salah satu pasien dapat melewati operasi dengan sukses  dan lolos dari kematian sementara  yang satunya meninggal ketika menjalani operasi.
Tahukah teman, apa penyebab kematian salah satu pasien tersebut? Di luar konteks bahwa itu adalah takdir, satu hal yang menarik adalah ternyata pasien yang selamat dari kematian tersebut ternyata memiliki motivasi untuk hidup yang sangat besar dari dalam dirinya. Bahwa ia tidak ingin meninggal di kamar operasi itu, masih banyak yang ingin ia lakukan, masih banyak perkerjaan yang belum ia selesaikan dan masih banyak orang yang menunggu dan mengharapkan kehadirannya di dunia. Bahwa dunia masih membutuhkannya dan pasien itu sendiri merasa tugasnya di dunia beluim selesai.
Sementara, pasien yang malang satunya, saat ia hidup tidak pernah memiliki semangat untuk berkarya. Ia merasa kehadirannya di dunia tidak ada artinya karena ia memang tidak membuat dirinya berarti. Dunia tidak membutuhkannya dan ia tidak pernah berusaha membuat kehadirannya  di dunia menjadi berguna. Diceritakan pula, bahwa cita-cita, mimpi dan tujuan hidup pasien yang selamat itulah yang membuat dia bertahan melalui operasi yang sangat berisiko tersebut. Bahwa, harapan dan cita-citanya mampu untuk mengalahkan takdir sehingga ia masih bisa diberi kesempatan untuk hidup, menyelesaikan apa yang telah ia mulai.
Mungkin cerita di atas tampak hiperbolis, tapi apa yang bisa kita tangkap adalah harapan dan tujuan hiduplah yang mampu mendorong kita untuk terus bertahan, melewati setiap persoalan,  rintangan, onak dan kerikil tajam yang kerap menghalangi jalan kita. Karena di ujung sana, kita melihat cahaya harapan telah menanti. Tak peduli betapa jalan ini begitu berliku, betapa sakit dan lelah raga ini berjuang namun karena kita punya sesatu yang hendak kita raih dan kita begitu  menginginkanya maka semua luka, sakit dan lelah seakan tak pernah ada.
Karena itulah kawan, bukan besok, lusa atau minggu depan, bulan depan atau bahkan tahun depan, tapi sekarang, saat inilah kita akan berpikir tentang cita-cita, berpikir tentang apa yang aku mau, ingin menjadi apa dan siapa aku nantinya. Ingin dikenang sebagai siapa aku,  ketika telah meninggalkan dunia ini. Apa yang ingin kuberikan pada diriku, keluargaku, lingkunganku, negaraku. Jejak apa yang akan kutinggalkan sebagai pertanda bahwa aku pernah ada. Mulai detik inilah, kita akan merancang peta hidup kita, menentukan kemana arah hidup ini akan kita bawa. Karena kita tidak pernah tahu kapan nyawa ini akan diambil Pemiliknya. Satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah berencana karena dengan itu kita punya arah. Karena dengan rencana hidup itulah kita akan memetakan nikmat umur yang diberikan Sang Maha Kuasa. Bercita-citalah kawan, karena dengan begitulah masa depanmu dibentuk.
Bersyukur dengan Hidup yang telah dianugerahkan kepada kita
Bersyukur dalam Hidup dan mengingat segala Anugrah yang telah di berikan TUHAN kepada kita akan membuat Hidup terasa ringan tuk dijalani.

Renungkanlah hal ini sob.,
Hari ini sebelum engkau berpikir untuk mengucapkan kata-kata kasar, ingatlah akan seseorang yang tidak bisa berbicara.
Sebelum engkau mengeluh mengenai cita rasa makananmu, ingatlah akan seseorang yang tidak punya apapun untuk dimakan.
Sebelum engkau mengeluh tentang suami atau isterimu, ingatlah akan seseorang yang menangis kepada Tuhan meminta pasangan hidup.

Hari ini sebelum engkau mengeluh tentang hidupmu, ingatlah akan seseorang yang begitu cepat pergi ke pangkuan-Nya.
Sebelum engkau mengeluh tentang anak- anakmu, ingatlah akan seseorang yang begitu mengharapkan kehadiran seorang anak tetapi tidak mendapatkannya.
Sebelum engkau bertengkar karena rumahmu yang kotor, dan tidak ada yang membersihkan atau menyapu lantai, ingatlah akan gelandangan yang tinggal dijalanan.
Sebelum merengek karena harus menyopir terlalu jauh, ingatlah akan seseorang yang harus berjalan kaki untuk menempuh jarak yang sama.

Dan ketika engkau lelah dan mengeluh tentang pekerjaanmu, ingatlah akan para pengangguran, orang cacat dan mereka yang menginginkan pekerjaanmu.
Sebelum engkau menuding atau menyalahkan orang lain, ingatlah bahwa tidak ada seorangpun yang tidak berdosa dan kita harus menghadap pengadilan Tuhan.
Dan ketika beban hidup tampaknya akan menjatuhkanmu, pasanglah senyum di wajahmu dan berterimakasihlah pada Tuhan karena engkau masih hidup dan ada di dunia ini.

CITA-CITA



Bercita-cita Tinggi dalam Menuntut Ilmu

Di antara akhlak Islam adalah berhias diri dengan cita-cita tinggi, yang menjadi titik sentral alam dirimu, baik untuk maju ataupun mundur, juga yang mengawasi gerak-gerik badanmu. Cita-cita yang tinggi bisa mendatangkan kebaikan yang tiada terputus dengan izin Allah, agar engkau bisa mencapai derajat yang sempurna, sehingga cita-cita itu akan mengalirkan darah kesatriaan dalam urat nadimu dan mengayunkan langkah untuk menjalani dunia ilmu dan amal. Orang lain tidak akan pernah melihatmu kecuali berada di tempat yang mulia, engkau tidak akan membentangkan tangan kecuali untuk menyelesaikan perkara-perkara yang penting.
Ini adalah perkara yang penting bagi para pelajar dalam menuntut ilmu, yaitu hendaklah dia mempunyai tujuan dalam belajarnya, bukan sekadar menghabiskan waktu di bangku sekolah, tetapi hendaklah seorang pelajar itu mempunyai cita-cita. Dan di antara cita-cita yang paling mulia adalah agar dengan ilmunya ia menjadi imam yang memimpin umat Islam di bidang ilmu pengetahuan, dan dia harus merasa bahwa dia bisa mencapainya sedikit demi sedikit sampai bisa mencapai cita-citanya. Kalau seorang pelajar melakukannya, dia akan menjadi perantara antara Allah dengan hamba-Nya dalam menyampaikan syariat Islam ini, yang akan membawanya untuk mengikuti Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan berpaling dari semua pendapat akal manusia, kecuali kalau bisa membantunya dalam mencapai kebenaran, seperti yang diucapkan oleh para ulama, yang itu merupakan sebuah ilmu yang bisa menjadi pintu bagi kita untuk mengetahui kebenaran. Karena, kalau tanpa ucapan-ucapan mereka, kita tidak akan mampu mengambil hukum langsung dari nash-nash yang ada, atau untuk mengetahui mana yang rajih (pendapat yang kuat) dan mana yang marjuh (pendapat yang lemah) atau yang semisalnya.
Cita-cita yang tinggi akan menghindarkanmu dari angan-angan dan perbuatan yang rendah dan akan memangkas habis batang kehinaan darimu seperti sikap suka menjilat dan basa-basi. Orang yang mempunyai cita-cita yang tinggi akan tegar, dia tidak akan gentar menghadapi masa-masa sulit. Sebaliknya, orang yang bercita-cita rendah akan menjadi penakut, pengecut, dan terbungkam mulutnya hanya oleh sedikit kelelahan.
Namun, jangan salah persepsi, jangan campuradukkan antara cita-cita yang tinggi dengan kesombongan. Karena, antara keduanya terdapat perbedaan yang sangat tajam, seperti perbedaan antara langit dan bumi. Cita-cita yang tinggi adalah perhiasan para ulama pewaris nabi, sedangkan kesombongan adalah penyakit orang-orang yang sakit dari kalangan para diktator yang sebenarnya miskin hati.
Wahai para pelajar, canangkanlah pada dirimu cita-cita yang tinggi, jangan berpaling darinya. Syariat kita telah memberi isyarat akan hal itu pada banyak masalah fiqih yang engkau jalani setiap hari, agar engkau selalu siap mendapatkannya. Misalnya, dibolehkannya tayamum bagi mukallaf tatkala tidak ada air, dan dia tidak diharuskan menerima hadiah sehingga air wudhu dari orang lain karena itu akan membuat orang lain merasa berjasa padamu. Yang itu akan merendahkan martabatmu. Dan perhatikanlah contoh-contoh lain yang seperti ini. Wallaahu a'lam.
Termasuk cita-cita yang tinggi adalah jangan sampai engkau mengharap milik orang lain. Karena, jika engkau menginginkan kepunyaan orang lain, lalu mereka memberikannya kepadamu, maka mereka akan memilikimu, karena perbuatan itu sebenarnya akan mengikatmu. Seandainya ada seseorang yang memberimu satu keping uang, maka tangannya akan lebih tinggi daripada tanganmu, sebagaimana digambarkan dalam sebuah hadits: "Tangan yang di aas lebih baik daripada tangan yang di bawah." (HR Bukhari dan Muslim).
Tangan yang di atas adalah yang memberi, sedangkan tangan yang di bawah adalah yang diberi. Jangan arahkan pandanganmu, juga jangan ulurkan tanganmu untuk meminta kepunyaan orang lain. Sampai-sampai kalau ada orang yang tidak memiliki air (untuk wudhu) lalu ada yang memberinya, maka dia tidak harus menerimanya, tetapi dia boleh bertayamum. Hal ini untuk menghindari jangan sampai dia berhutang budi kepada orang lain. Padahal, wudhu dengan air itu hanya wajib bagi yang mampu mendapatkan air saja. Oleh karena itu, para ulama membedakan antara orang yang mendapatkan orang yang menjual air dengan yang memberinya air, mereka mengatakan, "Kalau ada yang menjual air kepadamu, maka kamu wajib membelinya, karena kalau kamu membelinya, maka itu tidak berakibat engkau berhutang budi kepadanya, karena engkau telah memberi harganya, namun jika ada yang memberimu, maka engkau tidak wajib menerimanya, karena engkau akan berutang budi kepadanya, yang akan mengikat dirimu. Akan tetapi, jika yang memberimu air itu tidak meminta balas budi, bahkan mungkin dia berterima kasih kepadamu karena engkau mau menerima pemberiannya, atau karena yang memberimu adalah orang tertentu yang biasanya tidak harus membalas budi dalam pemberiannya, seperti saudara kepada saudaranya, maka hukum itu tidak berlaku karena sebabnya sudah hilang. Yang penting di sini bahwa termasuk cita-cita yang tinggi adalah jangan sampai engkau menginginkan kepunyaan orang lain.
Antusias dalam Menuntut Ilmu
Jika engkau tahu sebuah kalimat yang iucapkan oleh Khalifah Ali bin Abu Thalib: "Nilai setiap orang tergantung pada apa yang dia kuasai." (Lihat Faidhul Qadiir [IV/110]). Ada yang mengatakan: "Tidaklah ada satu kalimat pun yang lebih bisa memberikan semangat bagi penuntut ilmu daripada kalimat ini." Maka, waspadalah terhadap kesalahan orang yang berkata: "Generasi awal tidaklah meninggalkan apa pun untuk yang sesudahnya," akan tetapi lafazh yang benar adalah: "Berapa banyak yang ditinggalkan oleh generasi pertama untuk generasi berikutnya." Maka, kewajibanmu adalah memperbanyak belajar Sunnah Nabawiyah, dan curahkan kemampuanmu dalam menuntut, menimba, serta meneliti ilmu. Karena, setinggi apa pun ilmumu, engkau harus tetap ingat bahwa: "Berapa banyak yang masih ditinggalkan oleh generasi pertama untuk generasi selanjutnya."
Seseorang yang menguasai ilmu fiqih dan ilmu syariat niscaya akan mempunyai nilai lebih daripada orang yang mahir dalam memperbaiki kabel yang rusak atau lainnya. Hal ini karena keduanya sama-sama menguasai sebuah bidang tertentu, hanya saja ada bedanya antara yang pandai dalam ilmu agama dengan yang pandai dalam ilmu dunia. Dari sini kita ketahui bahwa nilai setiap orang adalah tergantung dari apa yang dia kuasai. Telah disebutkan di atas bahwa "tidak ada ucapan yang lebih bisa memberi semangat bagi penuntut ilmu daripada ucapan ini." Perkataan yang diambil oleh Syaikh tersebut tidaklah benar, karena kalimat yang paling bisa memberikan semangat belajar para penuntut ilmu adalah firman Allah (yang artinya), ".... Katakanlah: 'Adaklah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui ...." (Az-Zumar: 9). Juga, firman-Nya, "... niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat ...." (Al-Mujaadilah: 11). Dan, sabda Nabi saw., "Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah mendapatkan kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia dalam urusan agama." (HR Bukhari dan Muslim). Dan, sabda beliau pula, "Ulama adalah pewaris para nabi." (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad, dan Ad-Darimi). Dan, nash lainnya yang menganjurkan untuk menuntut ilmu. Tidak disangsikan lagi bahwa yang dikatakan oleh Ali bin Abu Thalib adalah sebuah kalimat yang mengandung makna yang luas, hanya saja itu bukan perkataan yang terbaik dalam hal anjuran menuntut ilmu.
Ucapan Syaikh: "Perbanyaklah ...," maksudnya adalah sebuah anjuran agar engkau memperbanyak mendapatkan warisan Rasulullah saw. yang berupa ilmu. Karena, para nabi tidaklah mewariskan dinar dan dirham, tetapi mereka mewariskan ilmu. Barang siapa yang mengambilnya, sungguh dia telah mengambil bagian yang sangat banyak dari warisan tersebut.
Kemudian, ketahuilah bahwasannya warisan Rasulullah ada yang berupa Al-Qur'an dan ada yang berupa As-Sunnah. Apabila warisan itu berupa Al-Qur'an, engkau tidak perlu lagi melihat sanadnya, karena Al-Qur'an sampai kepada kita dengan jalan yang mutawatir. Adapun jika berupa As-Sunnah, maka yang harus engkau lihat pertama kali adalah apakah Sunnah itu shahih dari Rasulullah atau tidak.
Perkataan Syaikh selanjutnya: "Curahkan kemampuanmu," maksudnya adalah kemampuan dalam meneliti. Karena, ada sebagian orang yang hanya mengambil zhahir dan umumnya nash tanpa meneliti lagi apakah zhahirnya nash itu yang dimaksud oleh hadits ini ataukah tidak, apakah keumuman nash itu dikhususkan atau tidak. Orang yang tidak menelitinya akan mempertentangkan antara satu hadits dengan yang lainnya, karena dia tidak mempunyai ilmu tentang masalah ini. Ini banyak terjadi di kalangan pelajar yang masih muda, yang banyak perhatian terhadap Sunnah Rasulullah saw. Biasanya salah seorang di antara mereka dengan cepatnya mengambil hukum dari hadits tersebut, atau dengan cepatnya dia menghukumi pada sebuah hadits. Ini adalah sebuah bahaya yang sangat besar.
Perkataan Syaikh: "Setinggi apa pun ilmumu tetaplah ingat bahwa masih sangat banyak yang ditinggalkan oleh generasi pertama untuk generasi berikutnya." Ini sebuah perkataan yang bagus, namun ada yang lebih bagus dari itu, yaitu kita katakan, "Setinggi apa pun ilmumu, tetaplah ingat firman Allah: 'Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Mahamengetahui.' (Yusuf: 76). 'Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit'."
Dalam biografi Ahmad Ibnu Abdul Jalil yang tertulis dalam Tarikh Baghdad oleh Al-Khatib al-Baghdadi, beliau menyebutkan seuntai syair:
"Tidaklah orang mulia itu seperti orang hina
dan tidak pula orang yang cerdik itu semacam orang yang bodoh.
Nilai seseorang itu setiap kali dia bisa menguasai sesuatu dengan baik.
Inilah yang diputuskan oleh Imam Ali bin Abu Thalib."
Meninggalkan Kampung Halaman untuk Menuntut Ilmu
Barang siapa yang tidak pernah pergi untuk menuntut ilmu, maka dia tidak akan didatangi untuk ditimba ilmunya. Barang siapa yang tidak pernah pergi dalam masa belajarnya untuk mencari guru serta menimba ilmu dari mereka, maka dia tidak akan didatangi untuk belajar darinya. Karena, para ulama dahulu yang telah melewati masa belajar dan mengajar mempunyai banyak tulisan, karangan-karangan ilmiah, dan pengalaman-pengalaman yang sulit ditemukan di dalam kitab.
Maksud perkataan Syaikh di atas: bahwa orang yang tidak pernah bepergian untuk menuntut ilmu, maka tidak perlu didatangi (untuk ditimba ilmunya).
Dan jauhilah cara belajarnya orang-orang shufi, yang hanya duduk di tempat. Mereka lebih mengutamakan ilmu khark (ilmu yang diambil langsung dengan cara menembus hijab antara dia dengan Allah, ini dalam persangkaan mereka, yang biasa dinamakan dengan ilmu laduni, pent.) daripada ilmu yang diambil dari lembaran-lembaran kitab. Pernah dikatakan kepada sebagian orang di antara mereka: "Mengapa engkau tidak berangkat untuk mendengarkan hadits dari 'Abdurrazzaq? Maka dia menjawab: "Apa gunanya mendengarkan hadits dari 'Abdurrazzaq bagi orang yang bisa mendengar secara langsung dari Allah Ta'ala." Ada lagi yang mengatakan:
Jika orang-orang itu berbicara kepadaku dengan ilmu yang diambil dari lembaran kitab.
Maka saya menandingi mereka dengan ilmu yang diambil langsung dari Allah Ta'ala."
Oleh karena itu, jauhilah mereka. Karena, mereka tidak pernah menolong Islam dan tidak pernah melawan orang-orang kafir. Bahkan, di antara mereka ada yang menjadi bencana dan bumerang bagi agama Islam.
Orang-orang shufi mengaku bahwasannya Allah langsung berbicara dengan mereka dan memberikan wahyu kepada mereka, serta mengaku bahwasannya Allah SWT mengunjungi mereka demikian juga sebaliknya. Ini adalah salah satu kepercayaan khurafat mereka.
Ungkapan Syaikh yang terakhir diambil dari ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang ahli kalam, beliau berkata: "Orang-orang ahli kalam itu tidak pernah menolong Islam, juga tidak pernah menghancurkan ahli falsafah." Maksudnya, ahli kalam itu tidak pernah membela agama Islam yang dibawa oleh Muhammad saw., mereka pun tidak pernah melawan ahli falsafah yang menjelek-jelekkan agama Islam. Bukti akan hal ini bahwasannya ahli kalam itu mengubah beberapa nash dari zhahirnya, mereka menakwilkannya kepada makna lain atau membuat makna yang baru. Mereka mengaku bahwasannya hal itu didasari pada akal yang sehat. Ahli falsafah pun mengatakan kepada mereka: "Kalian menakwilkan ayat dan hadits tentang sifat Allah Ta'ala, padahal keduanya sangat jelas, kalau begitu biarkanlah kami menakwilkan ayat-ayat tentang hari kebangkitan, karena ayat-ayat yang berhubungan dengan asma dan sifat Allah jauh lebih banyak daripada yang menjelaskan tentang hari kebangkitan. Maka, jika kalian boleh menakwilkan nama dan sifat Allah yang terdapat dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, maka biarkanlah kami menakwilkan ayat-ayat tentang hari kebangkitan, bahkan biarkan juga kami mengingkari hari kebangkitan secara total." Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah sebuah hujjah yang sangat kuat bagi ahli falsafah (ahli filsafat, red.) terhadap ahli kalam, karena memang tidak ada perbedaan di antara keduanya.
Syaikh telah menyerang orang-orang shufi, dan mereka memang pantas untuk diperlakukan seperti itu. Karena, sebagian orang shufi ada yang sampai batas kekufuran dan pengingkaran terhadap Allah. Sampai ada di antara mereka yang meyakini bahwasannya dirinya adalah Allah. Salah seorang di antara mereka mengatakan: "Tidaklah yang berada di dalam pakaian ini kecuali Allah," maksudnya adalah dirinya sendiri. Ada lagi yang berkata:
"Tuhan itu adalah hamba dan hamba itu adalah tuhan.
Duhai sekiranya aku tahu siapakah yang harus diberi beban kewajiban."
Maksudnya, tidak ada perbedaan antara keduanya. Dan, masih banyak lagi khurafat yang mereka ucapkan, namun kita juga seharusnya mengonsentrasikan serangan kepada ahli kalam yang merampas kesempurnaan Allah dengan ucapan-ucapan serta mengingkari sifat-Nya atas dasar akal mereka.
Para ulama yang berbicara tentang masalah pergi belajar belum menjumpai perkembangan teknologi yang ada saat ini. Saat ini kaset rekaman bisa dijadikan sebagai ganti dari pergi menuntut ilmu, meskipun pergi menuntut ilmu tetap lebih besar faidahnya. Karena, kalau engkau pergi kepada seorang alim, maka dia akan memperoleh ilmu, adab, dan akhlaknya. Juga, kalau engkau langsung melihatnya saat berbicara, engkau akan dapat lebih mudah terpengaruh dengannya.
Menjaga Ilmu dengan Mencatatnya
Curahkan kemampuanmu untuk menjaga ilmu dengan mencatatnya, karena dengan mencatat akan aman dari hilangnya ilmu itu, juga bisa mempersingkat waktu kalau ingin membahasnya saat dibutuhkan, terutama beberapa masalah ilmiah yang terdapat bukan pada tempat yang selayaknya. Dan di antara faidahnya yang paling besar adalah saat sudah berusia lanjut dan kekuatan badan sudah melemah, maka engkau masih mempunyai ilmu yang masih bisa ditulis tanpa harus membahas dan menelaahnya kembali.
Betapa banyak masalah-masalah penting tetapi tidak tercatat dengan alasan bahwa insya Allah saya tidak akan lupa. Tetapi, ternyata akhirnya dia pun lupa. Maka, dia berangan-angan seandainya dulu mencatatnya.
Oleh karena itu, catatlah ilmu, terutama faidah-faidah penting yang terdapat bukan pada tempat yang sewajarnya, juga mutiara-mutiara ilmu yang mungkin engkau lihat dan dengar yang engkau khawatir akan hilang serta hal lainnya, karena hafalan itu bisa melemah dan orang bisa saja lupa.
Berkata Imam Asy-Sya'bi, "Apabila engkau mendengar sesuatu, maka catatlah meskipun di dining." (Diriwayatkan oleh Khaitsamah). Apabila sudah terkumpul pada dirimu catatan tersebut, maka urutkanlah dalam kitab atau buku saku sesuai dengan judulnya, karena itu akan sangat membantumu pada saat-saat mendesak, yang para ulama besar pun terkadang sulit untuk mendapatkannya.
Menjaga Ilmu dengan Mengamalkannya
Jagalah ilmumu dengan cara mengamalkan dan mengikuti Sunnah Rasulullah saw. Al-Khatib al-Baghdadi berkata, "Seseorang yang mempelajari hadits wajib untuk mengikhlaskan niatnya dalam belajar dan bertujuan mencari wajah (ridha) Allah, dan janganlah ia jadikan ilmu itu sebagai sarana untuk mencapai kedudukan yang tinggi, jangan pula digunakan untuk mencari jabatan, karena telah daang ancaman bagi orang yang menjual ilmunya untuk mendapatkan keuntungan duniawi.
Telah datang ancaman bagi orang yang menuntut ilmu namun tidak ikhlas karena Allah, yaitu dia tidak akan mendapatkan bau surga, sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Khatib al-Baghdadi, bahwa seharusnya seorang penuntut ilmu itu mengikhlaskan niatnya, yaitu berniat melaksanakan perintah Allah dan mencari pahala dalam belajarnya, menjaga dan membela syariat Allah, dan bertujuan menghilangkan kebodohan dari dirinya sendiri, juga orang lain. Semua itu menunjukkan adanya keikhlasan, bukan bertujuan mendapatkan kehormatan, kemuliaan, martabat, dan jabatan.
Jika ada yang bertanya, "Setiap orang yang belajar di perguruan tinggi pasti bertujuan mendapatkan ijazah, yang karena itulah banyak kita lihat sebagian mereka menempuh cara-cara kotor demi memperoleh ijazah tersebut, misalnya ijazah palsu dan semisalnya." Kita jawab, "Bukankah mungkin saja orang itu belajar di perguruan tinggi dengan niat yang ikhlas, dia bertujuan untuk memberikan manfaat bagi sesama, karena pada zaman ini orang yang tidak mempunyai ijazah tidak akan bisa menjadi guru atau yang sejenisnya dari lembaga-lembaga yang membutuhkan ijazah.
Dan, jika ada yang mengatakan, "Saya ingin mendapatkan ijazah agar bisa mengajar di perguruan tinggi, karena tanpa ijazah saya tidak mungkin bisa mengajar di perguruan tinggi." Atau, kalau ada yang berkata, "Saya ingin memperoleh ijazah agar saya bisa menjadi seorang dai, karena pada zaman ini seseorang tidak mungkin bisa menjadi dai kecuali kalau memiliki ijazah." Kalau memang niatnya semacam ini, maka insya Allah itu adalah niat yang baik, yang tidak akan merusak belajar ilmu syar'i. Adapun kalau urusan ilmu duniawi, maka terserah engkau berniat apa saja selama masih dihalalkan oleh Allah. Seandainya ada orang yang belajar ilmu teknik dan berkata, "Saya ingin menjadi insinyur agar nanti gajiku sebesar sepuluh ribu real." Apakah ini haram? Tidak! Karena, itu ilmu duniawi, semacam pedagang yang berniat agar mendapatkan untuk yang banyak.
Hindarilah sikap berbangga dan menyombongkan diri, juga jangan sampai tujuanmu dalam belajar hadits adalah untuk mencari jabatan, memperbanyak pengikut, serta mendirikan majelis ilmu. Karena, kebanyakan penyakit yang merasuki para ulama adalah dari sisi ini.
Jadikanlah hafalanmu terhadap hadits Rasulullah sebagai hafalan ri'ayah (menjaga ajaran agama), bukan sekadar menghafal untuk meriwayatkannya, karena perawi ilmu itu banyak, namun yang mampu menjaga dan mengamalkannya itu hanya sedikit. Dan betapa banyak orang yang datang untuk belajar tetapi seperti orang yang tidak datang, juga betapa banyak orang yang berilmu seerti orang bodoh dan orang yang menghafal hadits namun sama sekali tidak memahaminya, apabila di dalam menyampaikan ilmunya, menyampaikan hukumnya seperti orang yang kehilangan ilmu dan pengetahuannya.
Maksud menjaga ri'ayah adalah memahami makna hadits, mengamalkan, lalu menjelaskannya kepada orang lain. Sebenarnya tujuan dari belajar Al-Qur'an dan As-Sunnah itu untuk memahami maknanya, sehingga bisa mengamalkan serta mendakwahkannya, namun Allah SWT menjadikan manusia itu bermacam-macam. Ada di antara mereka yang hanya bisa meriwayatkan namun tidak tahu maknanya, kecuali makna yang sangat jelas yang tidak butuh dijelaskan lagi, namun hafalannya sangat kuat. Ada lagi orang yang diberi karunia mudah memahami tetapi lemah dalam hafalan. Namun, ada sebagian manusia yang memiliki keduanya, yaitu kekuatan hafalan dan kefahaman, namun ini sangat jarang.
Rasulullah telah menggambarkan tentang orang-orang yang diberi oleh Allah SWT ilmu sebagai air hujan yang menyirami bumi, maka bumi yang terkena air hujan itu ada tiga macam. (HR Bukhari dan Muslim)
Pertama, tanah tandus yang menelan air namun tidak bisa menumbuhkan rerumputan. Ini permisalan bagi orang yang sama sekali tidak memperhatikan ilmu. Dia tidak mengambil manfaat, baik untuk dirinya maupun orang lain.
Kedua, tanah yang bisa menyerap air namun tidak bisa menumbuhkan tanaman. Ini permisalan bagi orang yang memperhatikan ilmu, seperti para perawi hadits, mereka mampu menahan air sehingga orang lain bisa minum dan mengairi sawah untuk menanam, namun mereka sendiri tidak bisa melakukan apa-apa kecuali sekadar menghafalkannya.
Ketiga, tanah subur yang mampu menyerap air dan menumbuhkan tanaman. Ini permislaan bagi orang yang diberi oleh Allah ilmu dan kefahaman. Mereka bisa memberi manfaat bagi diri dan orang lain.
Maka, seharusnya seseorang yang belajar ilmu agama bersikap berbeda dengan kebiasaan orang-orang awam, dengan cara mengikuti sunnah Rasulullah sebisanya serta mempraktikkan sunnah pada dirinya, sebagaimana firman Allah, "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suriteladan yang baik bagimu ...." (Al-Ahzaab: 21).
Firman-Nya yang lain, "Ikutilah aku, iscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." (Ali Imran: 31).
Menjaga Hafalan
Jagalah ilmumu dari waktu ke waktu, karena kalau tidak dijaga maka akan hilang meski bagaimanapun hebatnya ilmu itu.
Dari Abdullah bin Umar bahwasannya Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya permisalan orang yang menghafal Al-Qur'an semacm pemilik unta yang ditambatkan, kalau dia menjaganya (mengikatnya), maka dia tidak akan pergi, namun jika dilepas, maka dia akan pergi." (HR Bukhari, Muslim, dan Malik dalam Al-Muwaththa').
Berkata Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr r.a., "Hadits ini menunjukkan bahwa siapa pun yang tidak menjaga ilmunya, niscaya ilmu itu akan hilang, karena ilmu mereka pada saat itu hanyalah Al-Qur'an. Kalau Al-Qur'an saja yang dimudahkan oleh Allah dalam menghafalnya bisa hilang kalau tidak dijaga, maka bagaimana dengan ilmu lainnya? Dan sebaik-baik ilmu adalah manakala pokoknya dikuasai betul, sementara cabang-cabangnya dipelajari dan bisa mengantarkannya untuk taat kepada Allah serta bisa menunjukkan kepada perbuatan yang diridhai-Nya."
Sebagian ulama berkata, "Setiap kemuliaan yang tidak didukung dengan ilmu, maka akan berakhir pada kehinaan." (Ini adalah ucapan Al-Akhnas bin Qais).