Bercita-cita Tinggi dalam
Menuntut Ilmu
Di antara akhlak Islam adalah berhias diri dengan
cita-cita tinggi, yang menjadi titik sentral alam dirimu, baik untuk maju
ataupun mundur, juga yang mengawasi gerak-gerik badanmu. Cita-cita yang tinggi
bisa mendatangkan kebaikan yang tiada terputus dengan izin Allah, agar engkau
bisa mencapai derajat yang sempurna, sehingga cita-cita itu akan mengalirkan
darah kesatriaan dalam urat nadimu dan mengayunkan langkah untuk menjalani
dunia ilmu dan amal. Orang lain tidak akan pernah melihatmu kecuali berada di
tempat yang mulia, engkau tidak akan membentangkan tangan kecuali untuk
menyelesaikan perkara-perkara yang penting.
Ini adalah perkara yang penting bagi para pelajar
dalam menuntut ilmu, yaitu hendaklah dia mempunyai tujuan dalam belajarnya,
bukan sekadar menghabiskan waktu di bangku sekolah, tetapi hendaklah seorang
pelajar itu mempunyai cita-cita. Dan di antara cita-cita yang paling mulia
adalah agar dengan ilmunya ia menjadi imam yang memimpin umat Islam di bidang
ilmu pengetahuan, dan dia harus merasa bahwa dia bisa mencapainya sedikit demi
sedikit sampai bisa mencapai cita-citanya. Kalau seorang pelajar melakukannya,
dia akan menjadi perantara antara Allah dengan hamba-Nya dalam menyampaikan
syariat Islam ini, yang akan membawanya untuk mengikuti Al-Qur'an dan As-Sunnah
dengan berpaling dari semua pendapat akal manusia, kecuali kalau bisa
membantunya dalam mencapai kebenaran, seperti yang diucapkan oleh para ulama,
yang itu merupakan sebuah ilmu yang bisa menjadi pintu bagi kita untuk
mengetahui kebenaran. Karena, kalau tanpa ucapan-ucapan mereka, kita tidak akan
mampu mengambil hukum langsung dari nash-nash yang ada, atau untuk mengetahui
mana yang rajih (pendapat yang kuat) dan mana yang marjuh (pendapat yang lemah)
atau yang semisalnya.
Cita-cita yang tinggi akan menghindarkanmu dari
angan-angan dan perbuatan yang rendah dan akan memangkas habis batang kehinaan
darimu seperti sikap suka menjilat dan basa-basi. Orang yang mempunyai
cita-cita yang tinggi akan tegar, dia tidak akan gentar menghadapi masa-masa sulit.
Sebaliknya, orang yang bercita-cita rendah akan menjadi penakut, pengecut, dan
terbungkam mulutnya hanya oleh sedikit kelelahan.
Namun, jangan salah persepsi, jangan campuradukkan
antara cita-cita yang tinggi dengan kesombongan. Karena, antara keduanya terdapat
perbedaan yang sangat tajam, seperti perbedaan antara langit dan bumi.
Cita-cita yang tinggi adalah perhiasan para ulama pewaris nabi, sedangkan
kesombongan adalah penyakit orang-orang yang sakit dari kalangan para diktator
yang sebenarnya miskin hati.
Wahai para pelajar, canangkanlah pada dirimu cita-cita
yang tinggi, jangan berpaling darinya. Syariat kita telah memberi isyarat akan
hal itu pada banyak masalah fiqih yang engkau jalani setiap hari, agar engkau
selalu siap mendapatkannya. Misalnya, dibolehkannya tayamum bagi mukallaf
tatkala tidak ada air, dan dia tidak diharuskan menerima hadiah sehingga air
wudhu dari orang lain karena itu akan membuat orang lain merasa berjasa padamu.
Yang itu akan merendahkan martabatmu. Dan perhatikanlah contoh-contoh lain yang
seperti ini. Wallaahu a'lam.
Termasuk cita-cita yang tinggi adalah jangan sampai
engkau mengharap milik orang lain. Karena, jika engkau menginginkan kepunyaan
orang lain, lalu mereka memberikannya kepadamu, maka mereka akan memilikimu,
karena perbuatan itu sebenarnya akan mengikatmu. Seandainya ada seseorang yang
memberimu satu keping uang, maka tangannya akan lebih tinggi daripada tanganmu,
sebagaimana digambarkan dalam sebuah hadits: "Tangan yang di aas lebih
baik daripada tangan yang di bawah." (HR Bukhari dan
Muslim).
Tangan yang di atas adalah yang memberi, sedangkan
tangan yang di bawah adalah yang diberi. Jangan arahkan pandanganmu, juga
jangan ulurkan tanganmu untuk meminta kepunyaan orang lain. Sampai-sampai kalau
ada orang yang tidak memiliki air (untuk wudhu) lalu ada yang memberinya, maka
dia tidak harus menerimanya, tetapi dia boleh bertayamum. Hal ini untuk
menghindari jangan sampai dia berhutang budi kepada orang lain. Padahal, wudhu
dengan air itu hanya wajib bagi yang mampu mendapatkan air saja. Oleh karena
itu, para ulama membedakan antara orang yang mendapatkan orang yang menjual air
dengan yang memberinya air, mereka mengatakan, "Kalau ada yang menjual air
kepadamu, maka kamu wajib membelinya, karena kalau kamu membelinya, maka itu
tidak berakibat engkau berhutang budi kepadanya, karena engkau telah memberi
harganya, namun jika ada yang memberimu, maka engkau tidak wajib menerimanya,
karena engkau akan berutang budi kepadanya, yang akan mengikat dirimu. Akan
tetapi, jika yang memberimu air itu tidak meminta balas budi, bahkan mungkin
dia berterima kasih kepadamu karena engkau mau menerima pemberiannya, atau
karena yang memberimu adalah orang tertentu yang biasanya tidak harus membalas
budi dalam pemberiannya, seperti saudara kepada saudaranya, maka hukum itu
tidak berlaku karena sebabnya sudah hilang. Yang penting di sini bahwa termasuk
cita-cita yang tinggi adalah jangan sampai engkau menginginkan kepunyaan orang
lain.
Antusias dalam Menuntut Ilmu
Jika engkau tahu sebuah kalimat yang iucapkan oleh
Khalifah Ali bin Abu Thalib: "Nilai setiap orang tergantung pada apa yang
dia kuasai." (Lihat Faidhul Qadiir [IV/110]).
Ada yang mengatakan: "Tidaklah ada satu kalimat pun yang lebih bisa
memberikan semangat bagi penuntut ilmu daripada kalimat ini." Maka,
waspadalah terhadap kesalahan orang yang berkata: "Generasi awal tidaklah
meninggalkan apa pun untuk yang sesudahnya," akan tetapi lafazh yang benar
adalah: "Berapa banyak yang ditinggalkan oleh generasi pertama untuk
generasi berikutnya." Maka, kewajibanmu adalah memperbanyak belajar Sunnah
Nabawiyah, dan curahkan kemampuanmu dalam menuntut, menimba, serta meneliti
ilmu. Karena, setinggi apa pun ilmumu, engkau harus tetap ingat bahwa:
"Berapa banyak yang masih ditinggalkan oleh generasi pertama untuk
generasi selanjutnya."
Seseorang yang menguasai ilmu fiqih dan ilmu syariat
niscaya akan mempunyai nilai lebih daripada orang yang mahir dalam memperbaiki
kabel yang rusak atau lainnya. Hal ini karena keduanya sama-sama menguasai
sebuah bidang tertentu, hanya saja ada bedanya antara yang pandai dalam ilmu
agama dengan yang pandai dalam ilmu dunia. Dari sini kita ketahui bahwa nilai
setiap orang adalah tergantung dari apa yang dia kuasai. Telah disebutkan di
atas bahwa "tidak ada ucapan yang lebih bisa memberi semangat bagi
penuntut ilmu daripada ucapan ini." Perkataan yang diambil oleh Syaikh
tersebut tidaklah benar, karena kalimat yang paling bisa memberikan semangat
belajar para penuntut ilmu adalah firman Allah (yang artinya), ".... Katakanlah: 'Adaklah sama orang-orang yang mengetahui
dengan orang-orang yang tidak mengetahui ...." (Az-Zumar:
9). Juga, firman-Nya, "... niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat ...." (Al-Mujaadilah:
11). Dan, sabda Nabi saw., "Barang siapa yang
dikehendaki oleh Allah mendapatkan kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia
dalam urusan agama." (HR Bukhari dan Muslim). Dan, sabda
beliau pula, "Ulama adalah pewaris para nabi." (HR
Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad, dan Ad-Darimi). Dan, nash lainnya yang menganjurkan
untuk menuntut ilmu. Tidak disangsikan lagi bahwa yang dikatakan oleh Ali bin
Abu Thalib adalah sebuah kalimat yang mengandung makna yang luas, hanya saja
itu bukan perkataan yang terbaik dalam hal anjuran menuntut ilmu.
Ucapan Syaikh: "Perbanyaklah ...," maksudnya
adalah sebuah anjuran agar engkau memperbanyak mendapatkan warisan Rasulullah
saw. yang berupa ilmu. Karena, para nabi tidaklah mewariskan dinar dan dirham,
tetapi mereka mewariskan ilmu. Barang siapa yang mengambilnya, sungguh dia
telah mengambil bagian yang sangat banyak dari warisan tersebut.
Kemudian, ketahuilah bahwasannya warisan Rasulullah
ada yang berupa Al-Qur'an dan ada yang berupa As-Sunnah. Apabila warisan itu
berupa Al-Qur'an, engkau tidak perlu lagi melihat sanadnya, karena Al-Qur'an
sampai kepada kita dengan jalan yang mutawatir. Adapun jika berupa As-Sunnah,
maka yang harus engkau lihat pertama kali adalah apakah Sunnah itu shahih dari
Rasulullah atau tidak.
Perkataan Syaikh selanjutnya: "Curahkan
kemampuanmu," maksudnya adalah kemampuan dalam meneliti. Karena, ada
sebagian orang yang hanya mengambil zhahir dan umumnya nash tanpa meneliti lagi
apakah zhahirnya nash itu yang dimaksud oleh hadits ini ataukah tidak, apakah
keumuman nash itu dikhususkan atau tidak. Orang yang tidak menelitinya akan
mempertentangkan antara satu hadits dengan yang lainnya, karena dia tidak
mempunyai ilmu tentang masalah ini. Ini banyak terjadi di kalangan pelajar yang
masih muda, yang banyak perhatian terhadap Sunnah Rasulullah saw. Biasanya
salah seorang di antara mereka dengan cepatnya mengambil hukum dari hadits
tersebut, atau dengan cepatnya dia menghukumi pada sebuah hadits. Ini adalah
sebuah bahaya yang sangat besar.
Perkataan Syaikh: "Setinggi apa pun ilmumu
tetaplah ingat bahwa masih sangat banyak yang ditinggalkan oleh generasi
pertama untuk generasi berikutnya." Ini sebuah perkataan yang bagus, namun
ada yang lebih bagus dari itu, yaitu kita katakan, "Setinggi apa pun
ilmumu, tetaplah ingat firman Allah: 'Dan di atas tiap-tiap orang
yang berpengetahuan itu ada lagi yang Mahamengetahui.' (Yusuf:
76). 'Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit'."
Dalam biografi Ahmad Ibnu Abdul Jalil yang tertulis
dalam Tarikh Baghdad oleh Al-Khatib al-Baghdadi, beliau
menyebutkan seuntai syair:
"Tidaklah orang mulia itu seperti orang hina
dan tidak pula orang yang cerdik itu semacam orang yang bodoh.
Nilai seseorang itu setiap kali dia bisa menguasai sesuatu dengan baik.
Inilah yang diputuskan oleh Imam Ali bin Abu Thalib."
"Tidaklah orang mulia itu seperti orang hina
dan tidak pula orang yang cerdik itu semacam orang yang bodoh.
Nilai seseorang itu setiap kali dia bisa menguasai sesuatu dengan baik.
Inilah yang diputuskan oleh Imam Ali bin Abu Thalib."
Meninggalkan Kampung Halaman untuk Menuntut Ilmu
Barang siapa yang tidak pernah pergi untuk menuntut
ilmu, maka dia tidak akan didatangi untuk ditimba ilmunya. Barang siapa yang
tidak pernah pergi dalam masa belajarnya untuk mencari guru serta menimba ilmu
dari mereka, maka dia tidak akan didatangi untuk belajar darinya. Karena, para
ulama dahulu yang telah melewati masa belajar dan mengajar mempunyai banyak
tulisan, karangan-karangan ilmiah, dan pengalaman-pengalaman yang sulit
ditemukan di dalam kitab.
Maksud perkataan Syaikh di atas: bahwa orang yang
tidak pernah bepergian untuk menuntut ilmu, maka tidak perlu didatangi (untuk
ditimba ilmunya).
Dan jauhilah cara belajarnya orang-orang shufi, yang
hanya duduk di tempat. Mereka lebih mengutamakan ilmu khark (ilmu yang diambil
langsung dengan cara menembus hijab antara dia dengan Allah, ini dalam
persangkaan mereka, yang biasa dinamakan dengan ilmu laduni, pent.) daripada
ilmu yang diambil dari lembaran-lembaran kitab. Pernah dikatakan kepada
sebagian orang di antara mereka: "Mengapa engkau tidak berangkat untuk
mendengarkan hadits dari 'Abdurrazzaq? Maka dia menjawab: "Apa gunanya
mendengarkan hadits dari 'Abdurrazzaq bagi orang yang bisa mendengar secara langsung
dari Allah Ta'ala." Ada lagi yang mengatakan:
Jika orang-orang itu berbicara kepadaku dengan ilmu yang diambil dari lembaran kitab.
Maka saya menandingi mereka dengan ilmu yang diambil langsung dari Allah Ta'ala."
Oleh karena itu, jauhilah mereka. Karena, mereka tidak pernah menolong Islam dan tidak pernah melawan orang-orang kafir. Bahkan, di antara mereka ada yang menjadi bencana dan bumerang bagi agama Islam.
Jika orang-orang itu berbicara kepadaku dengan ilmu yang diambil dari lembaran kitab.
Maka saya menandingi mereka dengan ilmu yang diambil langsung dari Allah Ta'ala."
Oleh karena itu, jauhilah mereka. Karena, mereka tidak pernah menolong Islam dan tidak pernah melawan orang-orang kafir. Bahkan, di antara mereka ada yang menjadi bencana dan bumerang bagi agama Islam.
Orang-orang shufi mengaku bahwasannya Allah langsung
berbicara dengan mereka dan memberikan wahyu kepada mereka, serta mengaku
bahwasannya Allah SWT mengunjungi mereka demikian juga sebaliknya. Ini adalah
salah satu kepercayaan khurafat mereka.
Ungkapan Syaikh yang terakhir diambil dari ucapan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang ahli kalam, beliau berkata:
"Orang-orang ahli kalam itu tidak pernah menolong Islam, juga tidak pernah
menghancurkan ahli falsafah." Maksudnya, ahli kalam itu tidak pernah
membela agama Islam yang dibawa oleh Muhammad saw., mereka pun tidak pernah
melawan ahli falsafah yang menjelek-jelekkan agama Islam. Bukti akan hal ini
bahwasannya ahli kalam itu mengubah beberapa nash dari zhahirnya, mereka
menakwilkannya kepada makna lain atau membuat makna yang baru. Mereka mengaku
bahwasannya hal itu didasari pada akal yang sehat. Ahli falsafah pun mengatakan
kepada mereka: "Kalian menakwilkan ayat dan hadits tentang sifat Allah
Ta'ala, padahal keduanya sangat jelas, kalau begitu biarkanlah kami menakwilkan
ayat-ayat tentang hari kebangkitan, karena ayat-ayat yang berhubungan dengan
asma dan sifat Allah jauh lebih banyak daripada yang menjelaskan tentang hari
kebangkitan. Maka, jika kalian boleh menakwilkan nama dan sifat Allah yang
terdapat dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, maka biarkanlah kami menakwilkan
ayat-ayat tentang hari kebangkitan, bahkan biarkan juga kami mengingkari hari
kebangkitan secara total." Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah sebuah
hujjah yang sangat kuat bagi ahli falsafah (ahli filsafat, red.) terhadap ahli
kalam, karena memang tidak ada perbedaan di antara keduanya.
Syaikh telah menyerang orang-orang shufi, dan mereka
memang pantas untuk diperlakukan seperti itu. Karena, sebagian orang shufi ada
yang sampai batas kekufuran dan pengingkaran terhadap Allah. Sampai ada di
antara mereka yang meyakini bahwasannya dirinya adalah Allah. Salah seorang di
antara mereka mengatakan: "Tidaklah yang berada di dalam pakaian ini
kecuali Allah," maksudnya adalah dirinya sendiri. Ada lagi yang berkata:
"Tuhan itu adalah hamba dan hamba itu adalah tuhan.
Duhai sekiranya aku tahu siapakah yang harus diberi beban kewajiban."
"Tuhan itu adalah hamba dan hamba itu adalah tuhan.
Duhai sekiranya aku tahu siapakah yang harus diberi beban kewajiban."
Maksudnya, tidak ada perbedaan antara keduanya. Dan,
masih banyak lagi khurafat yang mereka ucapkan, namun kita juga seharusnya
mengonsentrasikan serangan kepada ahli kalam yang merampas kesempurnaan Allah
dengan ucapan-ucapan serta mengingkari sifat-Nya atas dasar akal mereka.
Para ulama yang berbicara tentang masalah pergi
belajar belum menjumpai perkembangan teknologi yang ada saat ini. Saat ini
kaset rekaman bisa dijadikan sebagai ganti dari pergi menuntut ilmu, meskipun
pergi menuntut ilmu tetap lebih besar faidahnya. Karena, kalau engkau pergi
kepada seorang alim, maka dia akan memperoleh ilmu, adab, dan akhlaknya. Juga,
kalau engkau langsung melihatnya saat berbicara, engkau akan dapat lebih mudah
terpengaruh dengannya.
Menjaga Ilmu dengan Mencatatnya
Curahkan kemampuanmu untuk menjaga ilmu dengan
mencatatnya, karena dengan mencatat akan aman dari hilangnya ilmu itu, juga
bisa mempersingkat waktu kalau ingin membahasnya saat dibutuhkan, terutama
beberapa masalah ilmiah yang terdapat bukan pada tempat yang selayaknya. Dan di
antara faidahnya yang paling besar adalah saat sudah berusia lanjut dan
kekuatan badan sudah melemah, maka engkau masih mempunyai ilmu yang masih bisa
ditulis tanpa harus membahas dan menelaahnya kembali.
Betapa banyak masalah-masalah penting tetapi tidak
tercatat dengan alasan bahwa insya Allah saya tidak akan lupa. Tetapi, ternyata
akhirnya dia pun lupa. Maka, dia berangan-angan seandainya dulu mencatatnya.
Oleh karena itu, catatlah ilmu, terutama faidah-faidah
penting yang terdapat bukan pada tempat yang sewajarnya, juga mutiara-mutiara
ilmu yang mungkin engkau lihat dan dengar yang engkau khawatir akan hilang
serta hal lainnya, karena hafalan itu bisa melemah dan orang bisa saja lupa.
Berkata Imam Asy-Sya'bi, "Apabila engkau
mendengar sesuatu, maka catatlah meskipun di dining." (Diriwayatkan oleh
Khaitsamah). Apabila sudah terkumpul pada dirimu catatan tersebut, maka
urutkanlah dalam kitab atau buku saku sesuai dengan judulnya, karena itu akan
sangat membantumu pada saat-saat mendesak, yang para ulama besar pun terkadang
sulit untuk mendapatkannya.
Menjaga Ilmu dengan Mengamalkannya
Jagalah ilmumu dengan cara mengamalkan dan mengikuti
Sunnah Rasulullah saw. Al-Khatib al-Baghdadi berkata, "Seseorang yang
mempelajari hadits wajib untuk mengikhlaskan niatnya dalam belajar dan
bertujuan mencari wajah (ridha) Allah, dan janganlah ia jadikan ilmu itu
sebagai sarana untuk mencapai kedudukan yang tinggi, jangan pula digunakan
untuk mencari jabatan, karena telah daang ancaman bagi orang yang menjual
ilmunya untuk mendapatkan keuntungan duniawi.
Telah datang ancaman bagi orang yang menuntut ilmu
namun tidak ikhlas karena Allah, yaitu dia tidak akan mendapatkan bau surga,
sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Khatib al-Baghdadi, bahwa seharusnya
seorang penuntut ilmu itu mengikhlaskan niatnya, yaitu berniat melaksanakan
perintah Allah dan mencari pahala dalam belajarnya, menjaga dan membela syariat
Allah, dan bertujuan menghilangkan kebodohan dari dirinya sendiri, juga orang
lain. Semua itu menunjukkan adanya keikhlasan, bukan bertujuan mendapatkan
kehormatan, kemuliaan, martabat, dan jabatan.
Jika ada yang bertanya, "Setiap orang yang
belajar di perguruan tinggi pasti bertujuan mendapatkan ijazah, yang karena
itulah banyak kita lihat sebagian mereka menempuh cara-cara kotor demi
memperoleh ijazah tersebut, misalnya ijazah palsu dan semisalnya." Kita
jawab, "Bukankah mungkin saja orang itu belajar di perguruan tinggi dengan
niat yang ikhlas, dia bertujuan untuk memberikan manfaat bagi sesama, karena
pada zaman ini orang yang tidak mempunyai ijazah tidak akan bisa menjadi guru
atau yang sejenisnya dari lembaga-lembaga yang membutuhkan ijazah.
Dan, jika ada yang mengatakan, "Saya ingin
mendapatkan ijazah agar bisa mengajar di perguruan tinggi, karena tanpa ijazah
saya tidak mungkin bisa mengajar di perguruan tinggi." Atau, kalau ada
yang berkata, "Saya ingin memperoleh ijazah agar saya bisa menjadi seorang
dai, karena pada zaman ini seseorang tidak mungkin bisa menjadi dai kecuali
kalau memiliki ijazah." Kalau memang niatnya semacam ini, maka insya Allah
itu adalah niat yang baik, yang tidak akan merusak belajar ilmu syar'i. Adapun
kalau urusan ilmu duniawi, maka terserah engkau berniat apa saja selama masih
dihalalkan oleh Allah. Seandainya ada orang yang belajar ilmu teknik dan
berkata, "Saya ingin menjadi insinyur agar nanti gajiku sebesar sepuluh
ribu real." Apakah ini haram? Tidak! Karena, itu ilmu duniawi, semacam
pedagang yang berniat agar mendapatkan untuk yang banyak.
Hindarilah sikap berbangga dan menyombongkan diri,
juga jangan sampai tujuanmu dalam belajar hadits adalah untuk mencari jabatan,
memperbanyak pengikut, serta mendirikan majelis ilmu. Karena, kebanyakan
penyakit yang merasuki para ulama adalah dari sisi ini.
Jadikanlah hafalanmu terhadap hadits Rasulullah
sebagai hafalan ri'ayah (menjaga ajaran agama), bukan sekadar menghafal untuk
meriwayatkannya, karena perawi ilmu itu banyak, namun yang mampu menjaga dan
mengamalkannya itu hanya sedikit. Dan betapa banyak orang yang datang untuk
belajar tetapi seperti orang yang tidak datang, juga betapa banyak orang yang
berilmu seerti orang bodoh dan orang yang menghafal hadits namun sama sekali
tidak memahaminya, apabila di dalam menyampaikan ilmunya, menyampaikan hukumnya
seperti orang yang kehilangan ilmu dan pengetahuannya.
Maksud menjaga ri'ayah adalah memahami makna hadits,
mengamalkan, lalu menjelaskannya kepada orang lain. Sebenarnya tujuan dari
belajar Al-Qur'an dan As-Sunnah itu untuk memahami maknanya, sehingga bisa
mengamalkan serta mendakwahkannya, namun Allah SWT menjadikan manusia itu
bermacam-macam. Ada di antara mereka yang hanya bisa meriwayatkan namun tidak
tahu maknanya, kecuali makna yang sangat jelas yang tidak butuh dijelaskan
lagi, namun hafalannya sangat kuat. Ada lagi orang yang diberi karunia mudah
memahami tetapi lemah dalam hafalan. Namun, ada sebagian manusia yang memiliki
keduanya, yaitu kekuatan hafalan dan kefahaman, namun ini sangat jarang.
Rasulullah telah menggambarkan tentang orang-orang
yang diberi oleh Allah SWT ilmu sebagai air hujan yang menyirami bumi, maka
bumi yang terkena air hujan itu ada tiga macam. (HR Bukhari dan Muslim)
Pertama, tanah tandus yang menelan air namun tidak bisa menumbuhkan rerumputan. Ini permisalan bagi orang yang sama sekali tidak memperhatikan ilmu. Dia tidak mengambil manfaat, baik untuk dirinya maupun orang lain.
Pertama, tanah tandus yang menelan air namun tidak bisa menumbuhkan rerumputan. Ini permisalan bagi orang yang sama sekali tidak memperhatikan ilmu. Dia tidak mengambil manfaat, baik untuk dirinya maupun orang lain.
Kedua, tanah yang bisa menyerap air namun tidak bisa
menumbuhkan tanaman. Ini permisalan bagi orang yang memperhatikan ilmu, seperti
para perawi hadits, mereka mampu menahan air sehingga orang lain bisa minum dan
mengairi sawah untuk menanam, namun mereka sendiri tidak bisa melakukan apa-apa
kecuali sekadar menghafalkannya.
Ketiga, tanah subur yang mampu menyerap air dan menumbuhkan
tanaman. Ini permislaan bagi orang yang diberi oleh Allah ilmu dan kefahaman.
Mereka bisa memberi manfaat bagi diri dan orang lain.
Maka, seharusnya seseorang yang belajar ilmu agama
bersikap berbeda dengan kebiasaan orang-orang awam, dengan cara mengikuti sunnah
Rasulullah sebisanya serta mempraktikkan sunnah pada dirinya, sebagaimana
firman Allah, "Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suriteladan yang baik bagimu ...." (Al-Ahzaab:
21).
Firman-Nya yang lain, "Ikutilah
aku, iscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." (Ali
Imran: 31).
Menjaga Hafalan
Jagalah ilmumu dari waktu ke waktu, karena kalau tidak
dijaga maka akan hilang meski bagaimanapun hebatnya ilmu itu.
Dari Abdullah bin Umar bahwasannya Rasulullah saw.
bersabda, "Sesungguhnya permisalan orang yang
menghafal Al-Qur'an semacm pemilik unta yang ditambatkan, kalau dia menjaganya
(mengikatnya), maka dia tidak akan pergi, namun jika dilepas, maka dia akan
pergi." (HR Bukhari, Muslim, dan Malik dalam Al-Muwaththa').
Berkata Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr r.a., "Hadits
ini menunjukkan bahwa siapa pun yang tidak menjaga ilmunya, niscaya ilmu itu
akan hilang, karena ilmu mereka pada saat itu hanyalah Al-Qur'an. Kalau
Al-Qur'an saja yang dimudahkan oleh Allah dalam menghafalnya bisa hilang kalau
tidak dijaga, maka bagaimana dengan ilmu lainnya? Dan sebaik-baik ilmu adalah
manakala pokoknya dikuasai betul, sementara cabang-cabangnya dipelajari dan
bisa mengantarkannya untuk taat kepada Allah serta bisa menunjukkan kepada
perbuatan yang diridhai-Nya."
Sebagian ulama berkata, "Setiap kemuliaan yang
tidak didukung dengan ilmu, maka akan berakhir pada kehinaan." (Ini adalah
ucapan Al-Akhnas bin Qais).
semoga kita bisa mengalahkan hawa nafsu.. amin...
BalasHapusjgn pernah menunda tuk berbuat baik..
BalasHapuskebaikan itu seperti penjual minyak kasturi, walau kita tdk membelix, wanginya pun qta dapatkan.
BalasHapus